Forum Lintas Hukum Indonesia Membedah Rancangan Revisi UU KPK, Nih Catatannya

Kamis, 12 September 2019 – 18:10 WIB
Forum Lintas Hukum Indonesia terdiri dari Chairul Imam, Petrus Selestinus, Alfons Loemau dan Serfas Serbaya Manek jadi pembicara diskusi tentang membedah Rancangan Revisi UU KPK di Jakarta, Kamis (12/9). Foto: Dok. JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Forum Lintas Hukum Indonesia (FLHI) menggelar diskusi untuk membedah Rancangan Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK di Jakarta, Kamis (12/9).

Diskusi tersebut antara lain menyoroti beberapa isu yang menjadi perhatian publik dalam revisi UU KPK. Di antaranya menyangkut pengaturan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan), penyadapan, LHKPN, status kepegawaian, badan pengawas KPK serta mempertegas posisi KPK sebagai lembaga penegak hukum apakah bagian dari eksekutif atau yudikatif.

BACA JUGA: Supratman: DPR Pasti Mendengar Masukan Publik Dalam Revisi UU KPK

“Berbagai rekomendasi dan catatan ini akan kami sampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan dalam pembahasan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK,” kata mantan Koordinator KPKPN sekaligus Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus di Jakarta, Kamis (12/9).

Dalam diskusi ini, hadir pula sebagai pembicara yakni Chairul Imam (mantan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung RI), Alfons Loemau (Pensiunan Polri sekaligus Pengamat Kepolisian RI), dan Serfas Serbaya Manek (Praktisi Hukum).

BACA JUGA: Jokowi Sudah Teken Surpres, Revisi UU KPK Tak Terbendung Lagi

Pada kesempatan itu, Petrus Selestinus mengatakan Forum Lintas Hukum Indonesia dalam kaitan dengan revisi UU KPK tidak keluar dari misinya pembentukan KPK yakni melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Sementara itu, Chairul Imam mengatakan dalam UU KPK terdapat ketentuan yang bertentangan atau tidak sejalan dengan KUHAP misalanya SP3.

BACA JUGA: Revisi UU KPK: Penjelasan Pakar Hukum Tentang Pentingnya Kewenangan SP3

Menurutnya, di seluruh negara dalam hukum acara pidananya ada diatur dimana penyidikannya dihentikan kalau ada situasi yang tidak memungkinkan untuk dilanjutkan. “Tetapi justru di KPK ini enggak boleh. Ternyata, setelah KPK jalan, ada beberapa kasus yang mentok,” kata Chairul Imam.

Selain itu, Chairul Imam menyoroti mengenai status pegawai di KPK. “Pegawai di KPK ini tidak jelas jenis kelaminnya, ASN (aparatur sipil negara) atau bukan. Karena pegawai di KPK terdiri dari pegawai dari poliri, kejaksaan dan BPKP istilahnya BKO, tetapi ada satu kelompok pegawai yang direkrut sendiri oleh KPK. Ini enggak jelas. Kalau dari institusi seperti kejaksaan pasti ASN. Sedangkan yang direkrut KPK itu, status pegawainya apa?,” katanya.

Di tempat yang sama, Serfasius Serbaya Manek menyatakan usulan adanya kewenangan pemberian surat perintah penghentian perkara (SP3) kepada KPK dalam revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, menjadikan KPK lebih memiliki kepastian hukum.

"KPK dalam proses penengakan hukum pemberantasan korupsi harus menerapkan prinsip praduga tak bersalah, sesuai dengan azas hukum pidana," kata Serfas menyikapi langkah DPR RI yang melakuan revisi terhadap UU KPK.

Menurut Serfasius, dalam praktiknya selama ini, KPK tidak menerapkan prinsip praduga tak bersalah, karena KPK tidak memiliki kewenangan SP3. "Setiap orang yang ditangkap dan diproses hukum di KPK selalu menjadi tersangka dan kemudian terpidana," katanya seperti dilansir Antara.

Adovokat dari Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) ini melihat, pada proses hukum pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK, ada beberapa nama yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, tapi setelah ditangkap dan diproses oleh KPK tidak memenuhi unsur untuk ditetapkan sebagai tersangka.
"Namun, karena KPK tidak memiiki kewenangan SP3, orag tersebut juga tidak dipulihkan lagi namanya, sehingga statusnya menjadi tidak jelas, misalnya Direktur
Utama Pelindo II RJ Lino," katanya.

Serfasius menyatakan, dukungan pada revisi UU KPK yang mengusulkan SP3 menjadi kewenangan KPK, sehingga dalam penanangan perkara kasus korupsi yang tidak memenuhi syarat menjadi tersangka, dapat segera dihentikan perkaranya.

Dia juga melihat, KPK dalam menangani perkara korupsi tanpa adanya SP# dapat berpotensi melanggar hukum.

"Tanpa adanya SP3, maka KPK akan melanggar hukum. Jika sesorang tidak bisa jadi tersangka, tapi tidak bisa dipulihkan nama baiknya, itu pelangaran hukum. Karena itu, KPK perlu memiliki kewenangan SP3," katanya.(fri/Ant/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler