jpnn.com - Praktik money politics alias politik uang semakin marak jelang Pemilu Serentak 17 April 2019. Beberapa caleg berlomba-lomba meraih hati dan suara rakyat, dengan imbalan uang.
---
BACA JUGA: Pilpres Bukan Perang
MONEY politics sulit dihilangkan. Sebagian masyarakat menilainya sangat membantu. Sebagian lagi menilai hal itu lebih baik, toh mereka yang dipilih tak mampu memperjuangkan aspirasi warga. Atau cenderung tak lagi mengingat konsituennya ketika sudah duduk menjabat.
Radar Tarakan (Jawa Pos Group) menemukan calon pemilih di sejumlah rukun tetangga (RT) mengaku pernah didatangi atau dikumpulkan untuk mendengarkan visi-misi caleg. Selain itu, sebagian warga dijanjikan uang dengan nominal tertentu jika bersedia memberikan suaranya pada Pemilu nanti.
BACA JUGA: Politik Dinasti: Ayah dan Dua Anak Maju Caleg Dianggap Hak Politik
Mirnawati (62), warga Kelurahan Karang Anyar, Tarakan Barat telah didatangi 6 caleg baik kota, provinsi maupun pusat. Selain menjelaskan visi dan misi, tujuan oknum caleg tersebut tidak lain menawarkan sejumlah uang untuk hak pilih Mirnawati.
BACA JUGA: Politik Uang: Rp 100 Ribu, Beras 2 Kilogram, dan Gula
BACA JUGA: Politik Dinasti: Anak, Bapak, Istri, Keponakan, Semua jadi Caleg
“Sudah banyak caleg ke sini, ada yang bawa calegnya, ketua RT yang bawa. Dia menjelaskan visi dan misinya dan menawarkan uang. Ada yang Rp 200 ribu ada yang Rp 300 ribu. Tapi sebagai jaminan minta fotokopi KTP, alasannya untuk didata,” ungkapnya kepada Radar Tarakan, Minggu (24/3).
Andika (27) Kelurahan Lingkas Ujung, Kecamatan Tarakan Tengah juga mengungkap hal yang sama. Bahkan menjelang hari pencoblosan, tidak tangung-tanggung dirinya didatangi 15 orang yang mengaku sebagai caleg, baik kota, provinsi maupun pusat.
“Iya sering datang. Ada yang teman lama, ada juga yang tidak kenal sama sekali. Biasa datang memperkenalkan diri terus menjelaskan visi dan misinya. Setelah itu menawarkan uang untuk minta dipilih. Ada juga yang to the point, ada juga yang malu-malu, pakai basa-basi yang panjang,” terangnya.
Bahkan, ia mengaku pernah dikumpulkan ketua RT untuk mendengarkan paparan visi-misi caleg di suatu tempat. Ia menerangkan selain menyampaikan komitmen akan menunaikan janjinya setelah terpilih, oknum caleg tersebut memberikan sejumlah uang kepada warga setelah pertemuan tersebut.
Ia menerangkan, sebagai warga yang memiliki kebutuhan, tentunya dirinya cukup senang mendapatkan sejumlah uang sebesar Rp 250 ribu. Meski demikian, secara nurani ia mengaku belum dapat memastikan suaranya kepada caleg tersebut.
“Kami pernah dikumpulkan RT mendengar sosialisasi caleg itu kira-kira ada 50 orang lebih. Dan kami mengumpulkan fotokopi KTP dan sebelum pulang kami dikasih amplop yang isinya Rp 250 ribu. Katanya itu masih perkenalan saja, nanti jelang pemilu masih ada lagi,” terangnya.
Terpisah, Jarot bukan nama sebenarnya, salah satu ketua RT di Kelurahan Karang Anyar menerangkan, dirinya kerap didatangi oknum caleg yang menawarkan jasanya untuk mengumpulkan warga mendengarkan sosialisasi. Bahkan selama tahun 2019 setiap bulan sedikitnya 7 caleg mendatangi kediamannya.
“Sudah banyak caleg yang datang ke sini, kalau ditotal mungkin 30-an lebih. Tapi sejak 2019 ini setiap bulan minimal ada 7 caleg yang datang dengan penawaran yang sama. Tergantung komisinya berani bayar berapa. Kalau berani bayar minimal Rp 5 juta saya berani kumpulkan warga. Itu di luar jatah fotokopi warga loh yah. Rp 5 juta itu hanya untuk mengumpulkan warga,” bebernya.
Ia mengakui perbuatan tersebut sangat tidak dibenarkan. Namun, karena tuntutan ekonomi serta tidak adanya kejelasan dan kecilnya insentif sebagai ketua RT membuatnya mau tidak mau harus menjalankan praktik kotor tersebut.
Ia menerangkan, sebagian besar ketua RT di Kota Tarakan juga menjalankan praktik yang sama. Hanya tidak semua ketua RT di Tarakan yang berani jujur mengatakan hal tersebut.
“Kami tahu ini perbuatan tidak dibenarkan, cuma mau bagaimana lagi. Jangan salahkan RT-nya, salahkan pemerintah yang tidak peduli kepada kejelasan gaji dan kesejahteraan RT. Tahu kalau ini salah tapi demi tuntutan ekonomi dan perut keluarga mau tidak mau kami lakukan. Terus terang saja supaya ini bisa menjadi perhatian pemerintah,” bebernya.
AD (43) salah satu timses caleg yang menggunakan strategi money politics mengakui perbuatan tersebut tidak dibenarkan. Hanya, money politics masih menjadi senjata paling ampuh untuk meraup suara dari masyarakat. Selain itu, ia tak memungkiri jika money politics telah warisan di setiap pesta demokrasi.
“Sekarang begini, percuma KPU mati-matian melarang money politics menjelang pemilu kalau mental di masyarakat tidak dibenahi. Bagaimana setiap caleg tidak pakai uang kalau pertanyaan pertama dari warga mau kasih uang berapa. Itu kan sudah jadi budaya dan ditambah lagi sebagian warga sudah kebiasaan. Akhirnya tidak mau memilih siapa-siapa kalau tidak ada uangnya. Mau tidak mau politikus menggunakan uang untuk menyelamatkan suara yang terancam hilang,” bebernya.
Ia menambahkan, kalau Bawaslu hanya mengawasi dengan cara tebang pilih dan tidak mau menindak besar-besaran sampai kapan pun strategi money politics akan selalu dijalankan.
“Seharusnya bukan pelaku, politikusnya saja yang ditindak. Kalau bisa masyarakatnya juga kena. Walaupun ada undang-undangnya tapi kenyataannya selama ini kan yang ditindak dari calegnya saja. Warga yang menerima masih aman. Kalau yang menerima tetap aman, money politics pasti terus berjalan,” ujarnya.
BACA JUGA: Terbuka saja, Apa Tugas Wakil Rakyat dan Berapa Uangnya
Salah satu caleg DPRD Tarakan yang enggan namanya dikorankan, menganggap untuk menarik minat masyarakat untuk memilih tidak bisa hanya bermodalkan visi dan misi saja. “Kalau modal visi dan misi saja mana bisa, kita juga harus mengeluarkan modal mulai dari sosialisasi, alat peraga dan modal lainnya,” tuturnya.
Dirinya sempat ditawari seseorang yang menjanjikan akan ada sejumlah suara yang mendukungnya bila dirinya memberikan sejumlah uang.
“Adalah permainan kayak gitu, tapi kita hanya bisa memberikan semampu kita saja, kemarin ada yang nawari juga katanya ada suara kalau saya berikan sejumlah, tapi tawaran itu saya masih pikirkan karena saya merupakan orang baru tahun ini mencalonkan jadi caleg,” bebernya.
Selama menjadi anggota di salah satu partai, permainan uang bukanlah hal baru untuk digunakan dalam meraup suara.
“Yah dengar cerita-cerita senior saya di partai begitu, perlu modal besar untuk bisa menang selain modal visi misi dan pendekatan ke tokoh-tokoh masyarakat dan masyarakat langsung,” ujarnya.
Dirinya menilai praktik menggunakan uang sebagai senjata untuk meraup suara dukungan akan sulit dihilangkan, karena sudah menjadi kebiasaan sejak dulu.
“Dari dulu begitu, bagaiamana mau bisa dihilangkan, untuk menghilangkan kebiasaan itu saya rasa harus dari diri masing-masing dan adanya komitmen,” jelasnya. (*/zac/jnr/lim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengakuan Caleg yang Gunakan Jasa Broker Suara, Oh Ternyata
Redaktur & Reporter : Soetomo