jpnn.com, JAKARTA - Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim mengungkapkan, sekolah-sekolah di zona hijau mayoritas menolak pembelajaran tatap muka selama masa pandemi COVID-19.
Ini terungkap dalam survei FSGI di mana 55,1 persen sekolah di zona hijau ternyata belum siap melakukan pembelajaran tatap muka.
BACA JUGA: FSGI: Sekolah-Sekolah di Zona Hijau Kerepotan Menyiapkan Infrastruktur
Selain itu akan banyak sekolah di zona hijau yang memilih melanjutkan pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Pasalnya, banyak persyaratan yang harus mereka penuhi untuk membuka sekolah lagi.
BACA JUGA: Survei FSGI: 55,1 Persen Sekolah di Zona Hijau Belum Siap Beraktivitas
"Melihat kondisi ini, FSGI memberikan beberapa rekomendasi untuk pemerintah terkait kesiapan sekolah menghadapi kenormalan baru dalam pembelajaran," kata Satriwan, Rabu (17/6).
Adapun rekomendasi FSGI itu adalah:
BACA JUGA: FSGI Desak Pemerintah Jangan Buru-buru Buka Sekolah pada Juli 2020
1. Perpanjangan PJJ/BDR (Belajar dari Rumah) lebih relevan tidak hanya untuk di zona hijau melainkan semua zona. Walaupun pemerintah sudah membuat SKB 4 Menteri yang memberikan peluang bagi siswa yang berjumlah 6 persen dari populasi untuk sekolah dibuka kembali. Namun, ini akan melahirkan persoalan baru dalam hal teknis di sekolah yaitu izin orang tua, koordinasi dengan pemda, sosialisasi protokol, zona hijau tetapi dikelilingi zona merah, angkutan umum, dan seterusnya.
2. Perpanjangan PJJ/BDR harus diikuti dengan perbaikan kualitas dan layanan untuk siswa dan guru, terutama di daerah PJJ luring. Buka jaringan dan gratiskan internet siswa guru khusus di daerah tidak ada internet.
"Pemda harus merangkul/MOU dengan radio-radio komunitas/TV lokal, berikan insentif guru kunjung khususnya guru honorer, alokasikan dana desa untuk membantu PJJ luring bagi siswa/guru, alokasi khusus dana daerah untuk siswa/guru dan sekolah swasta menengah ke bawah yang terancam tutup," tutur Satriwan.
Sedangkan untuk PJJ daring harus ada pendampingan, pelatihan untuk guru-guru agar PJJ berkualitas misal dalam penggunaan aplikasi media pembelajaran, dan seterusnya.
3. Kurikulum darurat atau adaptif di masa pandemi ini mutlak dibutuhkan. Sesuai dengan aspirasi para guru dari daerah dalam survei FSGI ada relaksasi konten (Standar Isi) kurikulum, standar penilaian, standar proses, standar kompetensi lulusan, termasuk standra sarana-prasarana. Ini bermanfaat di masa pandemi dan masa mendatang jika negara mengalami ancaman atau katastropi lainnya.
"Itu akan mengurangi beban kerja siswa dan guru. Mengingat pembelajaran dibatasi oleh tatap maya (waktu minim), perangkat, bergantung kepada kuota internet, dan akses. Oleh karena itu pelonggaran kurikulum yang adaptif sebuah keniscayaan. Tentu bentuknya adalah berupa Permendikbud, bukan sekadar SE Sekjen Kemendikbud/SE Mendikbud," beber Satriwan.
4. Harus ada alokasi anggaran khusus di luar dana BOS untuk memenuhi kebutuhan penyediaan sarana-prasarana penunjang protokol kesehatan di masa kenormalan baru nanti.
5. Kemendikbud/Kemenang dan Pemda betul-betul harus melakukan pengecekan langsung ke sekolah, sejauh mana kesiapan-kesiapan sekolah. Koordinasi lintas sektoral mutlak, termasuk dengan Komite Sekolah.
6. Sekolah jangan dibiarkan jalan masing-masing, sendiri-sediri dalam menilai kesiapan. Harus ada koordinasi, pendampingan, dan penilaian dari Pemda dan atau pemangku kepentingan lainnya. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad