jpnn.com, JAKARTA - Proyek Global Security Initiative (GSI), Inisiatif Keamanan Global yang digagas Presiden China Xi Jinping, perlu diwaspadai dan disikapi secara hati-hati oleh Indonesia, maupun negara-negara Asia Tenggara lain.
Hal itu disampaikan oleh Johanes Herlijanto, Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) dalam seminar Global Security Initiative (GSI) Ala Xi Jinping: Pandangan dan Dampaknya bagi Asia Tenggara, Sabtu (6/5).
BACA JUGA: FSI Prediksi Gerakan Pro Demokrasi di China Bakal Berlanjut
Johanes menambahkan catatan bahwa GSI juga menekankan penolakan RRC pada “mentalitas perang dingin,” unilateralisme, konfrontasi antara blok, dan hegemonisme.
Dalam pandangan Johanes, perilaku China di seputar Laut China Selatan (LCS), bahkan di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di perairan dekat Kepulauan Natuna merupakan contoh relevan yang memperlihatkan kontradiksi antara gagasan indah GSI dengan prilaku nyata China.
BACA JUGA: FSI: Respons Cepat TNI AL di Natuna Patut Diapresiasi
Dalam penjelasannya, Johanes merujuk pada berbagai insiden kapal-kapal penjaga pantai dan nelayan China berhadapan dengan otoritas negara-negara Asia Tenggara di wilayah ZEE negara-negara Asia Tenggara dalam satu dasawarsa terakhir.
Filipina dan Vietnam merupakan negara yang wilayah ZEE nya seringkali dilanggar oleh kapal-kapal penjaga pantai China. Hal yang sama juga terjadi dengan Indonesia, yang sebenarnya tidak terlibat dalam sengketa di LCS.
BACA JUGA: Kedaulatan Teritorial ZEE Laut Natuna Utara Tidak Untuk Ditawar, Pemerintah Harus Bertindak Tegas!
"Setidaknya sejak 2010, China telah berulang kali melakukan aktivitas yang tak mengindahkan hak berdaulat Indonesia di wilayah ZEE di sekitar Kepulauan Natuna," ujarnya.
Menurut Johanes, tingkah laku China, menyebabkan berbagai kelompok masyarakat di negara-negara Asia Tenggara bersikap hati-hati dan waspada terhadap gagasan asal China tersebut.
Johanes merujuk pada tulisan Hoang Thi Ha, peneliti dari ISEAS Yusof Ishak Institute, Singapura, yang memperlihatkan minimnya dukungan masyarakat Asia Tenggara terhadap GSI.
"Dari 1308 responden yang turut serta dalam survei yang dilakukan Hoang Thi Ha dan para koleganya, hanya 27,4 persen merasa yakin atau sangat yakin bahwa GSI akan membawa keuntungan bagi wilayah Asia tenggara. Sebanyak 44,5 persen responden merasa kurang yakin atau bahkan tidak yakin sama sekali,” jelasnya.
Narasumber lainnya, Sofwan Al Bana, Ph.D, pakar Hubungan Internasional asal Universitas Indonesia memaparkan bahwa GSI yang merupakan proyek keamanan global gagasan RRC ini dilandasi oleh beberapa prinsip utama, yaitu memegang teguh visi keamanan bersama, menyeluruh, kooperatif, dan berkelanjutan.
"Lalu, menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua negara, setia pada prinsip-prinsip Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)," ujarnya.
Kemudian, memperhatikan dengan serius concern keamanan yang sah dari semua negara, menyelesaikan perbedaan dan sengketa antar negara dengan damai melalui dialog dan konsultasi, dan berkomitmen menjaga keamanan tradisional maupun non-tradisional.
Menurutnya, GSI sebenarnya bagian yang tak terpisahkan dari sebuah skema yang telah berlangsung sejak 2010.
China yang dulu menyembunyikan kuku, kini merasa sudah kuat dan mulai menunjukan kuku dan taringnya, bukan untuk menakuti nakuti negara-negara di sekitarnya, tetapi untuk mencegah terjadinya perang. China menyampaikan kepada status quo, AS bahwa kebangkitannya tak terhentikan.
"Bukan berarti China ingin menghabisi kekuatan status quo, tetapi meminta agar dia memiliki ruang yang lebih besar dalam sistem internasional bagi kebangkitannya,” tuturnya. (jlo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh