FSI Prediksi Gerakan Pro Demokrasi di China Bakal Berlanjut

Senin, 23 Januari 2023 – 19:51 WIB
FSI Prediksi Gerakan Pro Demokrasi di China Bakal Berlanjut. Foto: Wahyu Budiman/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) Johanes Herlijanto mengatakan gaya pemerintahaan otoritarian dan ditaktor seperti di China bukan model yang cocok bagi Indonesia.

Menurut Johanes, masyarakat Indonesia patut mensyukuri datangnya era kebebasan dan iklim demokrasi sejak dua setengah dasawarsa lalu.

BACA JUGA: FSI: Respons Cepat TNI AL di Natuna Patut Diapresiasi

"Atmosfer demokrasi ini harus dipertahankan sambil menerapkan kebebasan secara bertanggung jawab," kata Johanes dalam seminar berjudul “Anti-Government Protest in China: A Threat to the Regime?” di Jakarta, Senin (23/1).

Dalam seminar yang membahas munculnya gerakan antipemerintah di China, pada akhir November 2022 lalu itu menghadirkan Profesor Jie Chen, Ph.D, ahli ilmu politik dan Hubungan Internasional dari University of Western Australia, Perth.

BACA JUGA: China Percepat Modernisasi Militer, FSI Minta Indonesia Waspada

Pengajar kajian China di Universitas Pelita Harapan ini menuturkan terjadinya Gerakan Kertas Putih di China pada November 2022, penting untuk dicermati.

Kondisi internal Republik Rakyat China (RRC) ternyata masih dipenuhi berbagai permasalahan yang masih belum terselesaikan.

BACA JUGA: Pengumuman: Terduga Teroris FSI Ditangkap Densus 88 Polri

"Model pemerintahan otoriter Partai Komunis China (PKC) yang bersifat top-down dan mengandalkan pengawasan dan tekanan terhadap warga yang berbeda pendapat dengan penguasa ternyata bukan model yang tepat untuk mengatasi berbagai persoalan yang timbul dalam masyarakat,” ujarnya.

Berbagai pernyataan yang disuarakan memperlihatkan bahwa rakyat China masih memiliki daftar kebutuhan yang belum terpenuhi, termasuk kebebasan dan sistem pemerintahan.

Selain itu, deretan protes warga dalam kurun 6 minggu itu menunjukan bahwa rakyat RRC tidak memiliki ketidakpuasan terhadap rezim PKC yang berkuasa.

“Stabilitas itu hanya membuktikan keras dan kuatnya pengawasan dan pembungkaman terhadap suara yang berbeda dari pemerintah,” tutur Johanes.

Namun, kata Johanes, rangkaian protes pada Oktober dan November 2022, menunjukkan bahwa pengawasan dan pembungkaman ternyata tidak selamanya efektif.

"Generasi muda yang sangat familiar dengan teknologi dan media sosial dapat menemukan celah untuk menyampaikan suara mereka," ujarnya.

Johanes juga memprediksi bahwa gerakan protes terhadap The Great Firewall yang dibangun rezim komunis China, masih akan terus berlanjut.

"Tantangan berupa strategi dan inovasi akan terus digagas oleh anak-anak muda yang menginginkan perubahan," katanya.

Sementara itu, Profesor Jie Chen mengatakan bahwa Gerakan Kertas Putih memiliki beberapa perbedaan utama dibandingkan gerakan-gerakan serupa yang terjadi di China sejak 1990.

"Elemen-elemen dalam Gerakan Kertas Putih menantang legitimasi rezim Partai Komunis China (PKC) dan bangkitnya seorang ditaktor,” ujar Jie Chen.

Penulis buku The Overseas Chinese Democracy Movement: Assessing China’s Only Open Political Opposition ini mengatakan Gerakan Kertas Putih juga menandakan munculnya kebangkitan politik di kalangan masyarakat China generasi setelah 1990-an. (jol/jpnn)


Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler