"Dari proposal utama G20 Summit, terlihat hanya sebatas melanjutkan kebijakan-kebijakan dalam menyelesaikan krisis dengan resep-resep neoliberal, seperti deregulasi sektor keuangan, liberalisasi perdagangan, investasi model kolonial, serta utang luar negeri," kata Yuyun Harmono, di Sekretariat KAU, kawasan Mampang, Jakarta, Kamis (11/9).
Logika pembangunan yang semata-mata ditujukan pada pertumbuhan ekonomi, yang berakibat mendalam terhadap kesenjangan pendapatan antar negara serta kemiskinan mayoritas kaum buruh dan masyarakat, menurut Yuyun, sama sekali tidak masuk dalam proposoal G20 Summit
BACA JUGA: 5 Tahun Lagi Subsidi Diakhiri
"G20 tidak membahas sama sekali akar dari krisis ini," tegasnya.Dijelaskannya, krisis ini merupakan sifat antagonistik dari sistem kapitalisme yang menghancurkan dirinya sendiri melalui over-produksi dan over-akumulasi
BACA JUGA: 6,4 Persen Rokok Bercukai Ilegal
Krisis over-produksi dan over-akumulasi juga menyebabkan adanya krisis finansial, yang muncul dari bubble.G20 menurut Yuyun, melihat bahwa bahaya terbesar dari ekonomi global saat ini adalah proteksionisme
BACA JUGA: Tinggal 5 Tahun Subsidi BBM
Padahal, agenda perdagangan bebas yang telah disepakati melalui WTO dan FTA, telah menjadi sumber dari kemiskinan negara-negara berkembang pada khususnya," ungkap Yuyun."Hal lain yang sangat mencengangkan kita, G20 juga tidak mempersoalkan monopoli US Dollar dalam ekonomi globalMonopoli US Dollar dari likuiditas finansial mereproduksi ketidakseimbangan global, dan bersamaan dengan agenda deregulasi finansial, memaksa negara yang mengeluarkan mata uang selain US Dollar, Yen dan Euro, untuk mengakumulasi cadangan dengan cara yang defensif, hingga memberikan dampak positif kepada monopoli US Dollar dan mengorbankan sumber daya untuk investasi yang produktif, penciptaan lapangan kerja, dan generasi yang sejahtera," imbuhnya.
Dominasi dolar AS, lanjut Yuyun pula, telah meningkatkan ancaman bagi negara-negara miskin terhadap serangan mata uang asingCurrency war (perang mata uang) yang terjadi menjelang pertemuan G20 di Seoul, menurutnya merupakan bentuk ancaman yang sangat membahayakan bagi stabilitas ekonomi negara berkembang dan negara miskin"Kami menilai, krisis tidak bisa diselesaikan dengan cara memperkuat peran lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank DuniaYang harus dilakukan justru menghentikan kekuatan lembaga-lembaga keuangan internasional tersebut dalam mengontrol pembangunan," tegasnya.
Lebih lanjut dikatakannya, penyaluran pinjaman-pinjaman yang tidak sah di masa lalu, menyebabkan negara berkembang dan negara miskin terjerumus dalam perangkap neoliberal, serta mengakumulasi beban utang yang sangat besarOleh karena itu, penambahan kuota bagi negara berkembang di kedua lembaga tersebut katanya, merupakan ilusi bagi terciptanya sebuah tatanan dunia yang lebih adil"Selain tidak berdampak bagi perubahan fundamental di dalam lembaga tersebut, penambahan kuota tidak menggeser dominasi AS di dalamnya," ungkapnya.
Karena itu pula, Yuyun menyebut bahwa KAU menolak segala bentuk manipulasi isu-isu perubahan iklim, krisis pangan, krisis sosial untuk kepentingan kapitalisme, dan menuntut perusahaan multinasional dan pemerintah negara maju untuk membayar semua kerusakan yang ditimbulkan oleh krisisKAU juga menolak segala bentuk utang luar negeri bagi negara-negara miskin, yang telah terbukti menjadi sebab keterbelakangan di segala aspek kehidupan.
"Kami menuntut satu penyelesaian fundamental, dengan mengganti sistem ekonomi politik neoliberal yang mendominasi selama ini, dan mendesak kerjasama yang setara di antara negara-negara senasib, serta solidaritas kaum buruh, petani dan kaum miskin untuk menyelesaikan masalah-masalah global secara lebih fundamental, dan membangun sistem alternatif yang berkeadilan bagi kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat," pungkasnya(fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Insentif Hilir Sawit Digodok
Redaktur : Tim Redaksi