G30S dan Skenario Awal Tanpa Darah Jenderal

Kamis, 29 September 2022 – 12:36 WIB
Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya, Jakarta Timur. Monumen tersebut merupakan penanda tentang peristiwa G30S/PKI. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA -- Gerakan 30 September atau G30S selalu menjadi perbincangan setiap menjelang Oktober.

Penguasa Orde Baru menyematkan PKI di belakang singkatan G30S sebagai cap bahwa Partai Komunis Indonesia mendalangi gerakan berdarah itu.

BACA JUGA: Film G30S/PKI, Antara Malam Horor bagi Murid dan Penyesalan Sutradara

Tujuh jenderal TNI Angkatan Darat ada dalam daftar nama yang harus diculik pada 1 Oktober 1965 dini hari.

Mereka ialah Jenderal Abdul Haris Nasution, Letjen Ahmad Yani, Mayjen R Suprapto, Mayjen MT Haryono, Mayjen S Parman, Brigjen Sutoyo Siswomiharjo, dan Brigjen DI Pandjaitan.

BACA JUGA: G30S, Front Kostrad Vs Halim, Mengapa Soeharto Tidak Diculik?

Hanya AH Nasution yang berhasil lolos dari pasukan Tjakrabirawa penculik para jenderal.

Namun, ajudannya, Lettu Pierre Andries Tendean, disangka sebagai Jenderal Nasution sehingga diculik.

BACA JUGA: Peringati G30S/PKI, Aa Gym Ajak Umat Islam Lakukan Ini Usai Salat Magrib

Enam perwira tinggi TNI dan Lettu Pierre A Tendean dibawa ke kawasan Lubang Buaya di dekat Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Mereka dibunuh, lalu dimasukkan ke dalam sumur.

Harold Crouch dalam bukunya yang bertitel' Militer dan Politik di Indonesia' mencatat sebenarnya G30S tidak memiliki rencana membunuh Jenderal A Yani Cs.

Menurut Crouch, gerakan itu bermaksud menahan tujuh jenderal yang disebut-sebut akan melakukan kudeta, kemudian melaporkannya kepada Presiden Soekarno.

"... dengan harapan bahwa Soekarno akan menyatakan terima kasihnya," demikian pendapat indonesianis dari Australia itu.

Crouch mendasarkan pendapatnya itu pada dokumen persidangan di Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang dibentuk untuk mengadili para pentolan PKI dan tentara yang terlibat.

"Bukti-bukti di pengadilan Mahmilub mengesankan sebenarnya para anggota komplotan tidak merencanakan pembunuhan jenderal," tutur Crouch.

Salah satu yang menjadi rujukan Crouch ialah pengakuan Sjam Kamaruzaman di persidangan. Sjam merupakan kepala Biro Khusus PKI.

Di persidangan, Sjam mengatakan bahwa rencananya semula ialah menahan para jenderal yang diduga merencanakan kudeta terhadap Presiden Soekarno. Selanjutnya, para jenderal yang ditangkap akan diserahkan kepada Dewan Revolusi.

Adapun Letkol Untung Syamsuri selaku komandan Batalion I Tjakrabirawa menjadi penanggung jawab atas penculikan para jenderal. Untung pun akhirnya diadili setelah gerakannya berantakan.

"Dalam sidang perkaranya, ia menyangkal telah memerintahkan pembunuhan, tetapi mengakui telah menginstruksikan Letnan Dul Arief, perwira yang memimpin penyergapan ke rumah-rumah para jenderal, untuk meyakinkannya bahwa tidak seorang pun lolos," begitulah tulisan Crouch di buku berjudul asli 'Army and Politics in Indonesia' itu.

Namun, beberapa anggota tim penyergap mengaku menerima perintah dari Dul Arief untuk mengambil para jenderal itu dalam kondisi hidup atau mati. Tiga jenderal, termasuk A Yani, dibunuh di rumah masing-masing.

Tiga jenderal lainnya dibawa ke Lubang Buaya. Di lokasi itu, Lettu Dul Arief dan Mayor Udara Gatot Sukrisno telah menanti.

Akan tetapi, Dul Arief dan Gatot terkejut ketika melihat tiga jenderal dibawa dalam keadaan tak bernyawa. Keduanya lantas menghubungi markas gerakan untuk melapor dan baru memperoleh perintah untuk menghabisi tiga jenderal lainnya.

"Para pemimpin gerakan mulai panik mendengar bahwa Yani telah dibunuh," tutur Crouch.

Ilmuwan politik cum penulis itu menyebut terbunuhnya para jenderal telah menempatkan peristiwa tersebut dalam perspektif baru.

Menurut Crouch, gerakan yang semula berharap restu dari Presiden Soekarno itu justru tak memperolehnya. Bung Karno tidak mendukung gerakan itu.

Hal itu terungkap dari perintah Bung Karno kepada Brigjen Supardjo. Seharusnya Supardjo sebagai salah satu komandan tempur Komando Mandala Siaga (Kolaga) berada di Kalimantan Barat.

Namun, pada 1 Oktober 1965, Supardjo justru berada di Jakarta. Sekitar pukul 10 pagi, Panglima Komando Tempur II Kolaga itu menghadap Bung Karno di Istana Bogor untuk melapor.

Laporan Supardjo berisi soal para perwira muda TNI telah mengadakan aksi terhadap Dewan Jenderal. Laporannya juga menyebut soal Jenderal Nasution lolos.

Ternyata Bung Karno memerintahkan Supardjo menghentikan gerakan itu. Proklamator RI itu tak mau ada pertumpahan darah.

"Kalau kau tak dapat, aku potong lehermu nanti," ujar Bung Karno kepada Supardjo.

Adapun Soeharto yang saat itu menjabat Panglima Kostrad meyakini Supardjo merupakan salah satu pemimpin G30S. Buku 'Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya' memaparkan soal nota dari Bung Karno untuk Supardjo.

Pada 1 Oktober 1965, Kolonel Sarwo bermaksud menemui Soeharto yang menghadap Presiden Soekarno di Istana Bogor. Namun, Sarwo tidak bertemu dengan Soeharto.

Sarwo justru melihat nota dari Bung Karno untuk Supardjo. Selain itu, Sarwo juga melihat Bung Karno menjelaskan soal nota perintah itu.

Akhirnya Sarwo yang menunggangi panser mencegat Soeharto di Pertigaan Halim Perdanakusuma. Komandan RPKAD itu langsung melapor.

"Ini semua, kan, di bawah pimpinan Jenderal Supardjo," ujar Sarwo saat melapor kepada Soeharto dengan menirukan ucapan Bung Karno.

Dari situlah Soeharto meyakini peran Brigjen Supardjo di G30S. "Supardjo, dialah salah seorang yang memimpin Gerakan 30 September ini," tutur Soeharto dalam buku autobiografinya itu. (JPNN.com)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
G30S PKI   PKI   Soeharto   Bung Karno   Jenderal   TNI AD   Orde Baru   penguasa   G30S  

Terpopuler