Gadis Garut Dipekerjakan di Medan Tanpa Gaji Selama 6 Tahun

Rabu, 04 Maret 2015 – 22:02 WIB

jpnn.com - JAKARTA – Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait menegaskan, Sumatera Utara masuk kategori daerah darurat kekerasan terhadap anak. Predikat semakin dikuatkan dengan kembali terungkapnya kasus memekerjakan anak di bawah umur asal Garut, Jawa Barat, yang bahkan telah dipekerjakan sejak enam tahun lalu, di sebuah rumah di Kompleks Grand Polonia, Sri Mulyani.

“Apa yang terjadi mengulang kembali kejadian yang sebelumnya. Sebulan lalu tiga anak dari Depok dipekerjakan di Bukit Maharaja (sebagai pekerja seks komersial,red). Belum lagi kasus puluhan anak dari Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dipekerjakan di sarang burung walet beberapa waktu lalu, yang sampai ada meninggal,” ujarnya kepada JPNN.com, Rabu (4/3).

BACA JUGA: Menhan: Lebih Kejam dari Penjahat Perang, Pengedar Layak Mati

Arist mendasari pandangannya, karena dari catatan yang ia miliki, setidaknya di tahun 2014 saja, terdapat 94 kasus kekerasan terhadap anak terjadi di Sumut. Itu belum termasuk dugaan kekerasan yang dimiliki lembaga lain, maupun yang hingga saat ini belum terungkap. Namun sayangnya dalam hal ini hanya sebagian kecil yang ditangani hingga tuntas oleh aparat hukum.

Padahal anak-anak tersebut tidak saja dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga maupun industri, namun yang terbesar justru dijadikan kurir narkoba maupun pekerja seks komersial.

BACA JUGA: Pejabat BKN Disebut-sebut Bekingi Calo CPNS

“Sangat menguntungkan sekali (memekerjakan anak,red) di Medan. Apalagi bisnis narkoba dan prostitusi itu, Medan sarangnya. Jadi tidak hanya menjadi daerah transit saja, Medan itu juga menjadi daerah tujuan,” katanya.

Karena itulah Arist kembali mengungkapkan pandangannya, kalau Medan daerah darurat kekerasan terhadap anak. Apalagi dari segi penegakan hukum, juga seperti tidak jelas.

BACA JUGA: Antonius Bambang Didakwa Menyuap Fuad Amin Rp 18,85 Miliar

“Saya protes keras terhadap Polresta Medan, yang terkesan setengah hati menangani kasus-kasus yang terjadi. Sampai sekarang contohnya, enggak jelas proses penegakan hukum terhadap pengusaha yang memekerjakan anak di sarang burung walet itu. Padahal sampai ada beberapa yang meninggal dunia. Saya agak kecewa dengan pak Niko (Kapolresta Medan Kombes Nico Afinta Karo-Karo, Red.),” katanya.

Arist mengingatkan kepolisian, bahwa sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tTentang Perlindungan Anak, pengusaha yang memekerjakan Sri Mulyani diancam dengan pasal pidana dengan hukuman maksimal penjara sepuluh tahun. Sementara terhadap pihak-pihak yang membawa Sri Mulyani ke Medan, dapat dikenakan sanksi perdagangan manusia.

“Ini yang saya katakan penegakan hukum. Saya rindu sekali Polresta Medan maupun dan Polda Sumut memrioritaskan kasus-kasus seperti itu. Tapi ini kasus memekerjakan anak di sarang burng walet itu saja enggak jelas proses hukumnya sampai mana,” katanya.

Padahal dari beberapa kasus yang ditangani Komnas Anak, sejumlah pengusaha yang memekerjakan anak misalnya seperti di Tangerang-Banten, pengusaha pabrik panci dijatuhi sanksi pidana penjara selama delapan tahun.

“Tapi di Medan saya belum pernah mendengar hal tersebut. Apalagi bagi pengusaha yang hanya memekerjakannya sebagai pembantu rumah tangga. Ini yang perlu kita ingatkan, penegakan hukum hangan transaksional. Dalam kasus ini (Sri Mulyani, Red.) saya kira teman-teman (lembaga yang menangani kasus Sri,red) jangan tinggal diam. Bisa menghantar anak tersebut melaporkannya ke polisi,” katanya.

Setelah melapor, Arist berharap teman-teman yang mendampingi dapat terus memantau perkembangan kasusnya. Sehingga hal-hal yang tak diinginkan bagi proses penegakan hukum, tidak terabaikan.

“Kalau setelah dilapor kepolisian tidak menangani, dapat dilaporkan ke tingkat yang lebih tinggi. Dapat dilaporkan ke Propam, atas dugaan tidak melakukan penyelamatan terhadap anak. Itu diatur dalam pasal 77 UU Perlindungan Anak. Ini pemahaman saya, ini kan kejahatan,” katanya.

Sebelumnya, Sri Mulyani yang merupakan warga Desa Lingga Mukti, Kecamatan Sucina Raja, Kabupaten Garut, Jawa Barat, diketahui bekerja di salah satu kediaman pengusaha, di Bilangan Polonia, Medan.

Sri (19) mengaku awalnya dijanjikan ikut audisi dangdut oleh Dedeh (25), perempuan yang juga tetangganya. Karena hobi nyanyi dangdut dan diimingi jadi artis terkenal, Sri tertarik.

Kebetulan pula, saat itu, ada hajatan pesta sunatan di luar kampung. Karena orangtuanya belum pulang dan Sri juga belum minta izin, dia sempat menolak. Namun rayuan Dedeh meluluhkannya.

Tanpa permisi, Sri ikut saja. Dia percaya karena Dedeh adalah tetangganya. Sri akhirnya dibawa Dedeh. Dia tak sendiri. Ada 5 perempuan muda lain bersama, ikut dibawa Dedeh naik pesawat ke Jakarta. Di sana mereka nginap di hotel.

“Satu hari aja nginap di hotel. Besoknya dibawa ke bandara Soerkano-Hatta, terus naik Sriwijaya Air ke Medan,” ujar cewek yang hanya tamatan SD itu.

Tiba di Bandara Polonia Medan, Sri sempat berontak begitu tahu dibawa ke Medan. Namun, dia akhirnya takut. Karena Dedeh langsung pergi. Sementara, mereka dijemput perempuan bernama Nuraida alias Butet.

“Ibu Butet itu kejam. Saya takut. Kami dibawa naik mini bus ke ruko milik, di Jalan Jamin Ginting. Itu aja yang saya ingat alamatnya,” bebernya.

Tiba di sana, kata Sri, sudah ada juga perempuan muda yang ditaksirnya berusia 13-15 tahun. “Baru tiba di Medan dan dijemput dengan bus yang sama,” tambahnya.

Sri menaksir, ada sekitar 20-an perempuan muda di ruko itu. Di sana, mereka didata dan diajari jadi pembantu. Juga diimingi gaji besar dan diminta nurut atas perintah majikan.

“Kami disuruh nurut karena majikan kami katanya orang kaya dan ngasih gaji besar. Kami juga sering dipukul kalau enggak nurut perintahnya,” ujarnya.(gir/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Datangi Bareskrim Polri, Bambang Widjojanto Dapat Ini...


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler