Phytagoras, seorang ahli matematika dari Yunani, bukan cuma terkenal dengan teorinya soal segi tiga. Ia juga memiliki sejumlah teori soal musik, salah satunya yang mengatakan musik adalah bahasa universal. 

Selama berabad-abad para musisi Barat menganggap akor konsonan terdengar lebih harmoni dan menyenangkan, sedangkan akor disonan biasanya lebih memberikan kesan perasaan tegang, terdengar kasar dan tidak menyenangkan. Akor adalah kombinasi interval nada. Jika intervalnya stabil atau nyaris maka disebut konsonan, sementara disonan adalah akor yang menggunakan interval nada yang terlalu berbeda atau tidak sesuai.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Tersangka Percobaan Pembunuhan Donald Trump Tewas Ditembak

Saat dunia barat menganggap musik yang harmoni tergantung dari akor-nya, sebuah penelitian terbaru yang diterbitkan Nature menyebutkan keselarasan nada lebih ditentukan oleh pendengarnya.

Penelitian ini menguji lima studi perilaku dengan skala yang besar, melibatkan 235.440 warga Amerika dan Korea Selatan.

BACA JUGA: Chaska Patras Siap Bawa Musik Indie Mendunia

Hasilnya menunjukkan persepsi kita terhadap musik yang indah lebih ditentukan budaya tempat kita tumbuh, dan bisa berubah seiring saat kita menikmati jenis musik baru. Apa kata Pythagoras soal musik?

Selain teorinya terkait segi tiga, Pythagoras berteori jika keselarasan dalam musik juga ada kaitannya dengan perhitungan.

BACA JUGA: Jepang Berubah dari Kekaisaran Militer Jadi Negara Penjual Fantasi, Apa Pemicunya?

Akor musik yang dijelaskan di atas disebutnya punya kaitan dengan rasio matematika tertentu yang membuat enak didengar.

"Setiap nada yang kamu dengar merupakan hasil getaran," jelas Profesor Emery Schubert, peneliti musik di Universitas New South Wales.

"Misalnya kamu memainkan sebuah nada pada 100 hertz, [nada tersebut akan selaras dengan nada lain pada] 200 hertz, 300 hertz, dan seterusnya," kata Profesor Schubert.

Tapi, ada yang kurang.

Pemikiran Phytagoras soal musik yang harmoni hanya berlaku bagi beberapa tradisi musik saja, khususnya tradisi musik barat.

Padahal, preferensi soal musik yang enak didengar juga tergantung dari paparan musik atau jika sudah terlatih mendengar musik lain.

Seperti yang dijelaskan Profesor Schubert, pengaruh budaya membentuk pemahaman kita tentang suara mana yang lebih enak didengar.

Di Australia, teori Pythagoras tentang musik yang harmonis mendasari hampir semua pendidikan musik dan musik.

Kebanyakan orang terpapar pada jenis konsonan dan disonansi, mulai saat ia mendengar lagu-lagu Taylor Swift hingga simfoni Beethoven.

Namun ada jutaan orang di seluruh dunia yang hidup dengan musik yang berbeda.

Para peneliti menggunakan alat musik gamelan sebagai studi kasus, karena memiliki aturan yang sangat berbeda dengan unsur-unsur musik barat,Bagaimana gamelan menantang pemikiran Pythagoras

Salah satu tujuan penelitian ini adalah untuk menguji asumsi kalau pemikiran Pythagoras soal musik harmonis dapat diterapkan pada instrumen apa pun, terlepas dari budaya atau geografi.

Penelitian menemukan perhitungan rapi Pythagoras malah jadi berantakan jika menggunakan musik dari budaya non-Barat seperti gamelan Jawa.

"Slendro dan pelog tidak cocok dengan tangga nada diatonik Barat," kata Vi King Lim, pemimpin Langen Suka, kelompok gamelan yang berbasis di Sydney.

Vi menggambarkan slendro sebagai "lima nada dalam satu oktaf yang jaraknya sama" atau atau yang dikenal dengan tangga nada pentatonik.

Berbeda dengan penyeteman standar yang banyak diketahui orang Australia, penyeteman gamelan Jawa "sangat fleksibel antar setnya, bergantung pada pembuatnya," seperti dijelaskan Lim.

Vi menunjukkan contoh lain. Salah satunya adalah bagaimana kebanyakan orang merasa tertekan untuk menyanyi atau bermain alat musik dengan selaras, karena ini dianggap penting bagi mereka yang tumbuh dengan tradisi musik barat.

Tapi di Jawa, orang-orang "bisa menyanyikan [lagu apa pun] yang bernada diatonik, diiringi gamelan dengan nada yang berbeda dan mereka bisa menoleransi ketidakcocokan nada tersebut," kata Vi.

Satu poin penting yang disampaikan para peneliti dalam makalah adalah kita tidak harus menjadi musisi untuk bisa menilai musik yang enak untuk didengar.

Tapi Profesor Schubert mengatakan tetap ada manfaatnya untuk terbuka dengan musik baru, bahkan bagi pencinta musik yang sudah berpengalaman.Manfaat memperluas selera musik

"Salah satu yang bisa memprediksi bagaimana kita bisa adalah pengalaman kita terpapar musik sebelumnya," kata Profesor Schubert.

Anak-anak menyerap budaya musik mereka sejak dini, yang bisa memengaruhi preferensi mereka seiring bertambahnya usia.

Profesor Schubert mengatakan musik menjadi salah satu cara kita untuk tetap aktif secara emosional. Serta karena stabilitas ingatan musik, musik bisa berdampak besar terutama di kemudian hari.

Ia mengibaratkan memperluas selera musik seperti berinvestasi, "ibaratnya seperti paket dana pensiun yang banyak dan tak pernah habis".

Mendengarkan musik baru mungkin terasa tidak nyaman, tetapi ada cara untuk bisa lebih terbuka pada jenis musik lain.

Profesor Schubert menyarankan: "Dengarkan musik yang tidak kita kenal sebanyak enam hingga sembilan kali sebagai latar belakang, lalu lihat bagaimana kita bisa menikmatinya nanti."

 "Otak Anda akan mulai memahami musik dan akan mulai terbiasa," kata Profesor Schubert.

Vi mengatakan sebutan musik sebagai bahasa universal memang menarik, tapi mengapresiasi berbagai aliran musik membutuhkan waktu.

"Semakin banyak musik yang kita temukan, [semakin jelas kalau musik] adalah sesuatu yang harus diajarkan."

Profesor Schubert menekankan bagaimana musik klasik yang disukai seseorang bisa menjadi musik baru bagi orang lain.

"Beberapa siswa kami hanya memiliki sedikit pengalaman mengenai musik [Barat] sehingga mereka menganggapnya asing," kata Profesor Schubert.

"Saya tidak menyuruh mereka pulang dan mempelajarinya, tapi saya meminta mereka mendengarkannya."

Artikel ini diproduksi oleh Hellena Souisa dari laporan ABC News.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Siap-Siap, Pekan Gembira Ria Vol. 8 Segera Digelar

Berita Terkait