Bagaimana animasi dan soft power mengubah persepsi Jepang dari ancaman militer menjadi penjaja fantasi dan mimpi.

Kamu tahu karakter ini?

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Banjir di India Tewaskan Tujuh Orang

Bagaimana dengan ini?

Atau …yang ini?

BACA JUGA: Family Office di Indonesia: Apa Untungnya, Apa Risikonya?

Mereka bukan hanya karakter kartun, tapi jadi tokoh-tokoh soft power paling berpengaruh dalam sejarah modern.

Mereka memainkan peran penting dalam mengubah citra Jepang pada abad ke-20, dari kekaisaran militer menjadi tujuan anak-anak muda mengejar impian.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Operasi Pencarian Korban Longsor Gorontalo Diteruskan

Begini penjelasannya.

Ini adalah Jessica Jiang, 24 tahun, asal Tiongkok, tepatnya dari provinsi Guangdong.

Selama Perang Dunia II, provinsi Guangdong diduduki oleh tentara Jepang. Agresi militer Jepang membuat trauma banyak orang yang hidup di masa itu.

Akibatnya, banyak orang berpandangan negatif soal Jepang selama beberapa dekade, meski bom atom telah menghentikan perang.

"Generasi tua di Tiongkok umumnya memiliki pandangan negatif soal Jepang karena alasan sejarah," kata Jessica.

"Beberapa orangtua masih khawatir kalau Jepang 'merusak budaya' generasi muda Tiongkok."

Namun generasi selanjutnya, seperti Jessica dari Generasi Z, memiliki perspektif yang sangat berbeda soal Jepang: perspektif yang lebih berwarna, penuh optimisme, dengan nilai seni tinggi.

"Bagi saya, ini adalah utopia yang jauh dari kenyataan," kata Jessica, mengacu pada dunia anime, kependekan dari istilah film animasi buatan Jepang.

"Semua masalah terselesaikan. Tokoh protagonis tidak pernah mati… menawarkan banyak keberanian."

"Apalagi ketika saya merasakan kesulitan, ingin menyerah, saya malah berusaha terus maju seperti karakter Jepang yang saya cintai."

Anime Jepang yang menjadi bagian budaya populer setelah Perang Dunia Kedua, telah berhasil mengambil hati jutaan anak di seluruh dunia. Daya tariknya mengubah anime menjadi industri global bernilai puluhan miliar.

Banyak karakter ikonik, mulai dari Astro Boy hingga Pikachu, yang terus mendominasi pasar waralaba global. Bahkan Pokémon kini menjadi waralaba terlaris sepanjang masa, lebih besar dari gabungan Barbie, Star Wars, dan Harry Potter.

Melalui waralaba inilah lahir perspektif yang berbeda soal Jepang, pandangan yang kemudian menciptakan pentingnya diplomasi soft power, serta menghidupkan kembali berbagai sektor ekonomi, berkontribusi pada industri pariwisata yang berkembang pesat.

Namun bagaimana sub-kultur khas Jepang ini bisa menjadi fenomena global?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita perlu melakukan sedikit perjalanan ke masa lalu.

Dari kerajaan militer hingga negeri fantasi

Sejarah anime dapat ditelusuri kembali ke awal tahun 1900-an, ketika banyak seniman Jepang yang dipengaruhi oleh animasi Barat, mulai bereksperimen dengan membuat film pendek.

Pada masa Perang Dunia Kedua, industri ini berkembang setelah adanya suntikan dana dari pemerintah Jepang untuk membuat film propaganda yang tentunya pro-Jepang, seperti Momotaro.

Namun setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, manga, atau buku komik Jepang, dan anime mengalami perubahan drastis.

"Setelah perang, Jepang digambarkan seperti ini: Tokyo hancur, baik secara ekonomi maupun fisik, karena pengeboman dan penjajahan setelahnya,” jelas Renato Rivera Rusca, pakar animasi, penerjemah, dan produser yang berbasis di Tokyo."

"Banyak seniman [manga dan anime] yang memiliki pengalaman langsung soal perang dan trauma pasca-perang. Mereka juga tidak terlalu percaya pada orang yang lebih tua."

Osamu Tezuka, yang berusia 17 tahun ketika bom atom meyerang, dikenal sebagai "bapak baptis manga".

Selama tahun 1960-an, Tezuka menciptakan salah satu acara TV animasi pertama yang menjadi populer di luar negeri: Astro Boy. Ceritanya tentang robot anak laki-laki yang cinta damai dengan kemampuan penglihatan sinar-X, membuatnya manusia yang super.

"[Astro Boy] mewujudkan harapan masa depan, dan menjadi teladan bagi masyarakat Jepang [yang juga mencerminkan] kepolosan anak-anak," kata Renato.

"Texuka bukan hanya creator yang jenius, tapi juga pebisnis yang hebat."

Osamu Tezuka (kiri), Hiroshi Okawa (tengah) dan Leiji Matsumoto (kanan) adalah beberapa seniman Jepang yang dikenal sebagai pengembang anime setelah Perang Dunia Kedua.

Awalnya Tezuka berusaha bermitra dengan lembaga penyiaran Amerika seperti NBC, setelah ia yakin akan lebih baik untuk mendistribusikan karyanya secara global.

Inilah yang melahirkan animasi TV berwarna pertama buatan Jepang di Amerika Serikat pada tahun 1960an, seperti Kimba The White Lion. Ironisnya, beberapa dekade kemudian cerita The Lion King buatan Disney dituduh mencuri ide dari cerita Kimba. 

Tokoh penting lainnya setelah Perang Dunia Kedua dengan ambisi global adalah Hiroshi Okawa. Ia pernah mengepalai studio anime mula-mula dan terbesar di Jepang, Toei Animation, yang ia perjuangkan untuk menjadi "Disney of Asia".

Toei Animation memproduksi animasi warna berdurasi panjang pertama di Jepang pada tahun 1958, The Legend of The White Serpent. Di salah satu videonya, Hiroshi menyampaikan janjinya untuk menantang pasar animasi global.

Toei Animation kemudian membuat program populer seperti Dragon Ball Z, Sailor Moon, dan One Piece.

Namun sepanjang tahun 1950-an dan 1960-an, bayang-bayang Jepang di masa Perang Dunia terus menghantui. Jepang digambarkan sebagai pengkhianat “bermuka dua, tercela”, seperti yang ditampilkan di kartun dan film propaganda Amerika, menurut Renato.

Jepang berjuang untuk melepaskan diri dari reputasinya, sampai generasi audiens baru muncul pada tahun 1970-an dan 1980-an, disertai dengan konsumerisme massal dan makin maraknya televisi rumahan, Video Home System (VHS), mainan figur dari plastik, serta konsol permainan video. video.'Kami tidak melihat Jepang seperti itu'

Tumbuh di Tokyo pada tahun 1970-an, Hiroko Yoda pertama kali mengenal manga saat masih di sekolah dasar.

“Saat naik kereta, kita akan melihat pegawai kantoran, atau orang dewasa, membaca koran, atau manga,” kata Hiroko, merujuk pada manga yang menyasar pembaca dewasa pada masa itu, yang dikenal juga dengan sebutan Gekiga.

Ia ikut mendirikan AltJapan, sebuah perusahaan spesialisasi manga dan video game bersama suaminya, Matt Alt, seorang penulis dan penerjemah.

Matt mengatakan ia mengenal budaya pop Jepang pada tahun 1980an, terutama dalam bentuk mainan, kartun, dan video game.

"Sistem Hiburan Nintendo, Gameboy, anime, manga, kemudian mengubah mainan, boneka, dan lainnya."

Masa ini digambarkan oleh banyak orang sebagai "zaman keemasan" manga dan anime, ketika produksinya meningkat pesat sementara perekonomian Jepang juga meningkat untuk pertama kalinya sejak Perang Dunia Kedua.

Sejak itu manga terus berkembang dan menyebar, menyasar berbagai demografi.

Ada genre untuk anak-anak, remaja, dewasa, bahkan orangtua, dan temanya beragam. Mulai dari erotisme dan kekerasan, hingga cinta dan komedi.

Meski popularitasnya semakin meningkat, manga dan anime secara umum tetap menjadi sub-kultur di Jepang yang dianggap oleh banyak orang dewasa sebagai sesuatu yang tidak pantas atau vulgar.

Namun di tempat lain, persepsi terhadap anime Jepang mulai berubah.

Pada tahun 1970-an dan 1980-an, setelah ketegangan ekonomi selama beberapa dekade antara Amerika Serikat dan Jepang, melemahnya industri berat di Amerika memicu pemecatan buruh ketika perusahaan-perusahaan Jepang, seperti Mitsubishi atau Fuji, mulai memasuki pasar Amerika.

"Jepang digambarkan sebagai saingan ekonomi yang mengejar lapangan kerja di Eropa dan Amerika…sebagai pegawai yang jahat… seperti Fujitsu di Back to the Future atau The Rising Sun, yang berkisah tentang perusahaan-perusahaan jahat Jepang yang memperbudak orang Amerika," kata Matt.

"Produser dan importir konten melakukan segala cara untuk menyembunyikan fakta, kalau produk mereka [kartun, anime, dan game] dibuat di Jepang."

"Banyak kartun yang kami tonton saat tumbuh dewasa, seperti Transformers, tidak jelas apakah berasal dari Jepang. Bahkan tidak ada satu pun orang Jepang yang disebutkan dalam Credit. Semuanya dari sisi Barat."

"Namun bagi kami anak-anak, kami tidak melihat Jepang seperti itu [sebagai saingan ekonomi]."

"Kami sibuk bermain Super Mario dan Pokémon, atau menonton Voltron, Sailor Moon, dan Gundam Wing."

Matt mengatakan produk-produk 'Made in Japan' sangat mempengaruhi kehidupan generasi muda di Amerika, dan berfungsi sebagai "pengirim fantasi."

"Interaksi kami dengan Jepang tidak diwarnai perang atau ekonomi. Interaksi kami dengan Jepang diwarnai permainan."

"Dan permainan itu sangat mengubah cara kita dan dunia memandang Jepang."

"Citra Jepang banyak berubah karena generasi-generasi berikutnya dibesarkan dalam fantasi Jepang, bukan citra Jepang sebagai penjajah."

Jutaan generasi muda secara tidak sengaja diperkenalkan dengan berbagai aspek budaya Jepang: mulai dari makanan, bahasa, hingga seni bela diri dan agama.'Kekerasan, tema dewasa, konten seksual'

Terobosan signifikan lainnya datang ketika Marvel Comics, perusahaan komik terbesar Amerika pada tahun 1980an, mengimpor dan melokalisasi serial manga cyberpunk Jepang berjudul Akira.

Ceritanya berkisar pada protagonis remaja Sh?tar? Kaneda dan teman-temannya, yang dengan ceroboh berkeliaran di jalan-jalan dunia "neo-Tokyo" pasca-perang, yang penuh dengan korupsi, protes anti-pemerintah, terorisme, dan kekerasan geng motor.

Serial manga ini akhirnya diadaptasi menjadi film anime yang sangat populer pada tahun 1988, dengan memperkenalkan lebih banyak tema dewasa, yang biasanya tidak digambarkan dalam kartun dan animasi Amerika.

Awalnya menjadi sebuah kegagalan di Jepang. Tapi setelah memasuki pasar luar negeri, Akira langsung menjadi hit di kalangan anak-anak dan remaja karena dianggap kartun yang unik dengan tema dewasa "darah, nyali, darah kental, dan seks".

"Anime Jepang [dipahami] sebagai 'budaya tandingan' baru yang sering diiklankan sebagai 'bukan animasi untuk generasi tua; ini tidak seperti Disney'," kata pakar budaya Renato. 

"Dan menjadi anti-Disney menjadi cita-cita yang dianggap keren oleh kaum muda pada masa itu."   

Keberhasilan Akira juga menandai dimulainya "gerakan kecil, namun berkembang" untuk mengakui anime sebagai "bentuk seni yang sah". 

Seiring dengan meningkatnya popularitas anime, perusahaan Walt Disney dan Tokuma Shoten membentuk kemitraan pada tahun 1996, di mana Walt Disney Studios akan menjadi distributor internasional tunggal untuk studio film animasi Studio Ghibli yang sekarang terkenal di Jepang.

Meskipun awalnya mengalami kesulitan pemasaran, Spirited Away memenangkan Oscar untuk fitur animasi terbaik pada tahun 2003, membuat anime menjadi mainstream di negara barat.

"Kemenangan Oscar mendorong [ratusan] bioskop untuk menayangkan film tersebut," kata Renato.

"Artinya, komunitas sinematik memuji karya tersebut dan melegitimasinya sebagai sebuah bentuk seni yang sebenarnya, kemudian membuat semakin banyak orang tertarik pada medium tersebut."

Popularitas yang baru ditemukan, ditambah dengan kebangkitan internet broadband dan layanan streaming di awal tahun 2000-an, membuat generasi bari di kalangan anak-anak untuk tenggelam dalam dunia anime Jepang. 

"Sekarang kami menganggap Crunchyroll [layanan streaming anime] sebagai layanan raksasa ini," kata Renato.

"Tapi saat itu, layanan ini hanyalah salah satu dari banyak situs ilegal di mana [penonton] dapat mengunggah episode yang [mereka] inginkan, episode yang baru tayang di TV beberapa jam yang lalu, kemudian episode itu disebarkan di seluruh dunia."

Layanan ini juga membantu menyebarkan reputasi Jepang yang berbeda, seperti yang diceritakan melalui produksi dan ekspor anime.

"Menjadi jelas bagi sebagian besar penggemar anime di Tiongkok kalau 'penghargaan terhadap anime dan budaya Jepang' tidak tergantung pada persepsi pemerintah Jepang dan sejarahnya," kata Jessica.

"Tidak ada gambaran spesifik tentang Jepang dalam anime, tapi orang-orang yang menontonnya tergerak untuk merasa lebih berani secara emosional," kata Renato, "hal ini membuat orang-orang ingin melihat lebih banyak hal dari Jepang."

"Pada akhirnya, bukankah itu merupakan lambang soft power?"'Tidak pernah ada rencana untuk menaklukkan dunia'

Jepang tidak mungkin mengabaikan potensi soft power anime yang dimilikinya, ketika minat internasional terhadap budaya Jepang meningkat.

"Baru pada tahun 1990an Jepang sadar kalau mereka dapat memanfaatkan budaya populernya, termasuk animasi," kata peneliti sejarah budaya Tets Kimura.

Konsep "Jepang Keren" mulai muncul, kemudian dengan dukungan Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang, mereka pun membuat strategi nasional.

Peluncuran Cool Japan Fund senilai $500 juta bertujuan untuk melipatgandakan penjualan konten "Cool Japan" di luar negeri, seperti anime, manga, patung, dan merchandise, dalam waktu lima tahun.

"Jepang kembali menciptakan negara adidaya," kata seorang analis yang menulis untuk majalah Foreign Policy pada awal tahun 2000-an.

"Mulai dari musik pop hingga barang elektronik, arsitektur hingga fesyen, dan animasi hingga masakan, Jepang saat ini terlihat lebih seperti negara adidaya budaya dibandingkan pada tahun 1980-an, ketika masih menjadi negara ekonomi."

Dr Kimura mengatakan Cool Japan bukan murni kebijakan soft power budaya, namun kebijakan ekonomi yang mengandalkan produk budaya. 

"Cukup jelas kalau yang ingin mereka lakukan dari kebijakan soft power-nya adalah menghasilkan keuntungan dari ekspor: mereka ingin menjual konten budaya dibandingkan produk manufaktur," katanya.

Banyak dari ekspor budaya ini juga membantu meningkatkan perekonomian lokal di berbagai bidang seperti pariwisata.

Banyak turis berkunjung ke lokasi-lokasi yang digambarkan dalam anime Jepang, misalnya, cerita Makoto Shinkai dengan latar belakang tempat-tempat nyata di Jepang. 

Dr Kimura mengatakan hal ini menyebabkan diperkenalkannya peta dan pemandu wisata untuk membantu turis berkeliling, karena banyak tempat yang digambarkan dalam anime Jepang adalah desa-desa dan kota-kota terpencil yang tidak dirancang untuk wisatawan.

Beberapa pekerja kreatif Jepang, seperti animator Nishii Terumi, mengatakan semakin populernya anime memberikan tekanan yang tidak terduga pada industri lokal, yang menyebabkan masalah seperti kerja berlebihan, upah rendah, dan kurangnya pelatihan.

"Saya senang industri ini berkembang, namun ada konsekuensinya," kata Nishii. 

Namun pada saat yang sama, beberapa aspek kampanye soft power Jepang juga memberikan manfaat bagi para seniman.

Matt dan Hiroko mengatakan selama satu dekade terakhir, Tokyo diberi subsidi untuk menerjemahkan produk budaya Jepang dan membantu mendistribusikan karya mereka ke luar negeri.

Kementerian Kebudayaan juga sudah mulai mengarsipkan produksi manga dan animasi.

Meskipun Tokyo memanfaatkan popularitas anime dan menggunakannya untuk soft power dan keuntungan ekonomi, para ahli dan penggemar mengatakan kesuksesan sebenarnya disebabkan oleh permintaan organik.

"Tidak pernah ada rencana untuk menaklukkan dunia atau semacamnya," kata Matt.  

“Popularitas anime dan manga terjadi secara organik, berasal dari orang-orang, dimulai dari penggemar berat dan penggemar awal seperti saya.”

Baik Matt maupun istrinya Hiroko berpendapat inilah yang membuat anime menjadi otentik: anime tersebut tidak dipasarkan kepada mereka, atau bukan juga dimaksudkan untuk menjadi soft power.

Ini berbeda dengan soft power yang lebih disengaja dan diatur di negara-negara seperti Korea Utara dan Rusia.

"Soft power tidak akan berfungsi jika mengalir dari atas, ketika orang dewasa atau pihak berwenang mengatakan 'ambil ini, ini keren'," kata Hiroko.

"Kekuatan pendorong di balik popularitas anime, manga, dan apa pun yang berhubungan dengan itu… adalah manusianya sendiri."KreditRiset, penulis: Penerjemah:Grafik, ilustrasi & visual: Tambahan gambar: AdobeStock, Agence-France Presse (AFP), Associated Press (AP), YouTube, CrunchyRoll, Wikimedia, IMDB, SuppliedProduser & editor: 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dunia Hari Ini: Pegi Setiawan Bebas

Berita Terkait