jpnn.com, JAKARTA - Aksi gang rape atau kekerasan seksual bergerombol semakin marak terjadi di Indonesia. Padahal gang rape biasanya terjadi di negara-negara yang tengah dilanda konflik atau perang.
Namun sejak 2015, semakin banyak gang rape ditemui di Tanah Air, meski Indonesia bukan termasuk negara yang sedang perang.
BACA JUGA: LPAI Minta Foto Wajah Pelaku Pedofilia Disebarluaskan
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mengatakan, berdasarkan catatan yang dimiliki lembaganya, sejak 2015 aksi gang rape semakin marak. Dia lantas mencontohkan berbagai kasus yang terjadi.
“Contoh kasus kekerasan seksual bergerombol seperti yang menimpa Yy di Bengkulu dengan 14 pelaku, Samarinda dengan 13 pelaku dan Semarang dengan 21 pelaku,” kata Arist saat jumpa pers “Kala Kekerasan Seksual Mengancam Anak-Anak Kita” di kantor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Rabu (29/3).
BACA JUGA: UNICEF Apresiasi Sistem Perlindungan Anak Indonesia
Berdasarkan data Komnas PA, pada 2015 ada 44 kasus Gang Rape dengan sembilan korban meninggal dunia. Kemudian, pada 2016 ada 82 kasus gang rape dengan sebelas korban meninggal dunia. Pada 2017 ini, sudah ada 26 laporan kasus gang rape dengan tiga korban meninggal dunia.
Menurut Arist, sebanyak 16 persen pelaku gang rape masuk kategori anak berusia 14 tahun. Pemicu aksi ini antara lain karena narkoba, minuman keras, pornografi dan pornoaksi.
BACA JUGA: Ibu dan Nenek Buang Bayi di Bak Sampah demi Tutupi Aib
Selain itu, Arist menambahkan, lemahnya penegakan hukum kasus kekerasan seksual, terutama jika pelakunya masih kategori anak yang tidak bisa lebih dari 10 tahun penjara, juga menjadi penyebab.
Karenanya Komnas PA mendorong majelis hakim yang menyidangkan kasus kekerasan seksual menggunakan Undang-undang nomor 17 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang mengatur pidana pokok bagi pelaku kekerasan seksual anak minimal 10 tahun plus kebiri serta hukuman lainnya.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak dalam menghadapi kekerasan seksual anak. Dia menegaskan, semua pihak harus saling menguatkan sehingga tidak banyak lagi anak Indonesia yang menjadi korban kekerasan seksual.
“LPSK siap bekerja sama dengan berbagai pihak termasuk Komnas PA, karena LPSK bertugas memberikan layanan dan bantuan yang dibutuhkan korban kekerasan seksual, seperti bantuan medis, psikologis dan psikososial,” ujar Semendawai.
Dia mengingatkan aparat penegak hukum untuk bersungguh-sungguh dalam menanggapi dan menangani kasus kekerasan seksual anak. Sebab, banyak terjadi setelah melaporkan kejadian yang menimpanya malah korbanlah yang merasa terintimidasi. Kondisi ini akhirnya membuat korban kekerasan seksual menjadi takut untuk melapor. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Psikolog: Perayaan Tahun Baru Menyiksa Anak-Anak
Redaktur & Reporter : Boy