jpnn.com, JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Jakarta Raya mengkritik keputusan Gubernur Anies Baswedan memberlakukan kembali ganji genap mulai 3 Agustus 2020.
Langkah itu dinilai sebagai keputusan tergesa-gesa, karena bukan solusi menyelesaikan masalah kemacetan selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi.
BACA JUGA: Sebaiknya Pak Jokowi Tegur Gubernur DKI Anies Baswedan soal Somasi untuk Ike Mukti
"Pemberlakuan ganjil genap di tengah kenaikan angka COVID-19 di Jakarta merupakan keputusan yang tergesa-gesa dan tidak memiliki perspektif yang utuh tentang kebencanaan," kata Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Teguh P. Nugroho dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Senin (3/8).
Menurut Teguh, penyelesaian kemacetan di Jakarta selama masa PSBB transisi I dan II harus berangkat dari akar masalah.
BACA JUGA: Usai Anies Sidak, Dirut Transjakarta: Insyaallah Siap Antisipasi Ganjil Genap
Menurut dia, akar masalah kemacetan adalah tingginya jumlah pelaju (pengendara) dari wilayah penyangga Jakarta menyebabkan kemacetan di jam-jam sibuk termasuk penumpukan penumpang di transportasi publik salah satunya di 'commuter line' Jabodetabek.
Tingginya angka pelaju dan penumpukan penumpang di transportasi publik disebabkan oleh ketidakpatuhan instansi pemerintah, BUMN dan BUMD dalam membatasi jumlah pegawai masuk kantor.
BACA JUGA: Anak Buah Anies Baswedan Bakal Awasi Ketat Perayaan Iduladha
"Karena intansi, lembaga dan perusahaan tetap menerapkan jumlah karyawan yang masuk di atas 50 persen," ujar Teguh.
Dalam grup diskusi terarah (FGD) yang diadakan ORI Perwakilan Jakarta pada 26 Juni 2020 lalu, diperoleh fakta dari data yang dipaparkan para pemangku di bidang transportasi bahwa kenaikan pengguna transportasi pribadi dan transportasi publik naik sejak pemberlakuan PSBB transisi 1 dan 2 di jam-jam sibuk.
FGD yang dihadiri para pemangku kepentingan di bidang transportasi, yakni Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Polda Metro Jaya, Organda, TransJakarta dan PT KCI, juga mengungkapkan, angka kepadatan lalu lintas pada jam sibuk di ruas tol wilayah Jakarta dan arus jalan dalam kota sudah mencapai kepadatan 96 persen dari angka normal sebelum pandemi.
Fakta lainnya disampaikan PT KCI yang mencatatkan pertumbuhan penumpang 'commuter line' mencapai angka 4-7 persen per minggunya.
"Pada Juli 2020 mencatatkan angka tertinggi mencapai 420.000 penumpang per hari atau mendekati angka psikologis 50 persen dari total penumpang harian sebelum pandemi berlangsung," ujar Teguh.
Angka tersebut belum mencakup para pelaju yang menggunakan kendaraan roda dua sebagai alat transportasi ke tempat kerja.
Ombudsman memperkirakan dengan total penggabungan angka pelaju pengguna 'commuter line', kendaraan pribadi roda empat dan roda dua, jumlah warga yang berangkat dan pulang dari tempat kerjanya di atas angka 75 persen.
Oleh karena itu, lanjut Teguh, yang harus dibatasi adalah jumlah pelaju yang berangkat dan pulang kerja ke Jakarta.
Menurut dia, memberlakukan ganjil genap tanpa didahului melakukan pengawasan dan penindakan terhadap instansi, lembaga dan perusahaan yang melanggar hanya akan mengalihkan para pelaju dari penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi publik.
"Pembatasan itu hanya mungkin dilakukan jika Pemprov DKI secara tegas membatasi jumlah pegawai dari instansi pemerintah, BUMN, BUMD dan swasta yang bekerja di Jakarta," ujar Teguh. (ant/dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil