jpnn.com - jpnn.com - Terkait urusan ganti rugi lahan, ratusan warga Desa Wungurejo, Kecamatan Ringinarum, Kendal, Jateng,mengamuk dengan membanting meja dan kursi di Balai Desa setempat, kemarin.
Mereka marah karena tidak terima dengan putusan kasasi ganti rugi pembebasan jalan tol Batang-Semarang yang dinilai merugikan rakyat, yang dibacakan di balai desa tersebut.
BACA JUGA: Proyek Tol, Tiga Warga Minta Rp 1,5 Juta Per Meter
Dalam putusannya, Mahkamah Agung (MA) membatalkan permohonan warga yang meminta ganti rugi lebih tinggi dari penawaran tim panitia pengadaan tanah (P2T).
Pantauan Radar Pekalongan (Jawa Pos Group), penyampaian hasil putusan kasasi ke Mahkamah Agung yang dihadiri ratusan warga di balai desa setempat awalnya berjalan lancar.
BACA JUGA: Hamdalah, Ganti Rugi Miliaran dari Waduk Terbayarkan
Agenda pertemuan sebenarnya hanya sosialisasi putusan kasasi dari Mahkamah Agung, terkait gugatan warga kepada pelaksana pembebasan jalan tol Batang-Semarang.
Pembacaaan putusan kasasi dari Mahkamah Agung disampaikan panitera Pengadilan Negeri (PN) Kendal.
BACA JUGA: Alhamdulilah, Ganti Rugi Waduk Tukul Terbayarkan
Warga kecewa dengan putusan kasasi yang membatalkan putusan PN Kendal terkait besarnya ganti rugi senilai Rp 350 ribu per meter bagi yang terkena proyek jalan tol Semarang-Batang.
Pertemuan sempat memanas, warga meminta ada kejelasan terakit putusan kasasi tersebut.
Panitera PN Kendal menyampaikan bahwa terkait besarnya ganti rugi bukan menjadi kewenangannya. Panitera hanya membacakan putusan kasasi yang menolak permohonan gugatan warga dan membatalkan putusan PN Kendal.
Akibatnya, aksi protes dari warga terdampak tol Batang-Semarang terhadap tim panitia pengadaan tanah terus berlangsung. Warga menanyakan nilai ganti rugi yang telah ditentukan dan diputuskan Mahkamah Agung dianggap tidak jelas.
Menghadapi protes warga itu, panitia P2T yang terdiri dari ketua BPN, tim aprasial, pengadilan tinggi dan sejumlah dinas terkait, tetap bersikukuh bahwa harga yang harus diterima oleh warga terdampak tol adalah senilai Rp 220 ribu per meternya, sesuai dengan penawaran awal.
Namun warga tetap memaksa pada tim agar menyetujui permintaan warga senilai Rp 350 ribu per meter, sesuai dengan keputusan PN Kendal.
Menurut warga, harga per meter senilai Rp 220 ribu terlalu rendah, karena uang ganti rugi itu jika dibelikan tanah lagi tidak akan mendapatkan penggantinya. Sehingga, mereka meminta agar pihak tim P2T mau menaikkan harganya.
Emosi warga bertambah memuncak, saat tim P2T tidak mau menjawab permintaaan warga untuk menjelaskan berapa nilai ganti rugi yang akan diterima warga sesuai dengan keputusan kasasi.
Dengan emosi tersulut, ratusan warga marah dan membanting meja serta kursi pertemuan. Karena tak ada tanggapan, wargapun akhirnya meninggalkan balai desa dengan rasa kesal dan emosi tinggi.
"Tidak menerima mas, karena jelas hakim Mahkamah Agung itu dalam memutus tidak memakai apprasial pembanding. Wong jelas dalam PN Kendal itu sudah terbukti, apprasial mereka itu bersalah dan tidak obyektif dalam menilai," kata Triyono warga Desa Wungurejo.
Tim P2T tetap bersikukuh dan tetap menolak permintaan wargadan menganggap hasil putusan kasasi Mahkamah Agung telah final.
Dalam putusan PN Kendal appraisal menilai tanah warga Desa Tejorejo dan Wungurejo, sebesar Rp 220 ribu.
Namun di tingkat PN Kendal, gugatan warga dikabulkan dan naik menjadi Rp 350 ribu per meternya.
Namun di tingkat pengadilan tinggi, dalam proses banding gugatan warga tidak dikabulkan sehingga harga kembali ke penawaran appraisal sebesar Rp 220 ribu per meternya. (nur)
Redaktur & Reporter : Soetomo