jpnn.com, JAKARTA - PT Adaro Energy Tbk menggarap pasar batu bara kokas atau coking coal.
Hal itu tidak lepas dari permintaan batu bara kokas yang terus meningkat untuk kebutuhan industri baja dunia.
BACA JUGA: Cadangan Batu Bara Makin Menipis
Direktur Utama PT Adaro Energy Tbk Garibaldi Thohir mengatakan, potensi kebutuhan batu bara kokas di dalam negeri maupun global cukup tinggi.
Saat Indonesia bertransformasi menjadi negara industri, kebutuhan baja akan melonjak.
BACA JUGA: Enak Begini, Dekat Keluarga, Jauh dari Maksiat
’’Pabrik baja tidak akan jadi kalau tidak ada coking coal (batu bara kokas),” kata Garibaldi, Senin (23/4).
Saat ini kebutuhan batu bara kokas untuk pabrik baja di Indonesia, termasuk PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, masih harus diimpor lantaran minimnya pasokan batu bara kokas di dalam negeri.
BACA JUGA: Genjot Produksi, Bukit Asam Siapkan Belanja Modal Rp 6,55 T
Total produksi batu bara kokas perseroan pada 2017 mencapai 0,74 juta ton.
Angka itu akan dikerek menjadi satu juta ton pada tahun ini.
Sementara itu, total produksi batu bara Adaro pada 2018 ditargetkan mencapai 52–54 juta ton.
Minimnya produksi batu bara kokas milik Adaro disebabkan sedikitnya cadangan dan tambang batu bara jenis itu.
Untuk itu, Adaro juga mengakuisisi tambang batu bara kokas di Australia milik Rio Tinto.
PT Adaro Energy Tbk bersama EMR Capital, perusahaan pengelola private equity bidang pertambangan, telah menandatangani perjanjian mengikat untuk mengakuisisi 80 persen saham Rio Tinto di tambang batu bara kokas Kestrel.
Nilai akuisisi mencapai ASD 2,25 miliar atau sekitar Rp 30 triliun.
Tambang Kestrel terletak di cekungan Bowen, Queensland, Australia, salah satu wilayah utama batu bara metalurgi di dunia.
Kestrel memproduksi batu bara kokas keras sebesar 4,25 juta ton pada 2017. (vir/c7/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PLN Bisa Hemat Rp 18 Triliun
Redaktur & Reporter : Ragil