Enak Begini, Dekat Keluarga, Jauh dari Maksiat

Sabtu, 17 Maret 2018 – 06:04 WIB
Saparuddin saat berada di kebun sawit miliknya. Foto: ZALYAN SHODIQIN ABDI/RADAR BANJARMASIN

jpnn.com - Saparuddin, 40, lebih memilih berkebun di kampung. Sebelumnya, pria yang biasa dipanggil Aval itu pernah bekerja di atas kapal pengangkut batu bara dengan gaji besar.

Zalyan Shodiqin Abdi, Pulau Laut

BACA JUGA: Genjot Produksi, Bukit Asam Siapkan Belanja Modal Rp 6,55 T

Keringat menetes di wajahnya. Aval baru saja selesai membasmi gulma di kebun, menggunakan herbisida. "Badan tak muda lagi. Baru sebentar, sudah capek," tuturnya tertawa.

Kamis (15/3) siang, warga Desa Lontar Timur, Kecamatan Pulau Laut Barat, Kabupaten Kotabaru, Kalsel, ini mau berbagi kisah. "Dulu saya kerja di perusahaan batu bara, di kapal. Saya jadi operator crane," sebutnya

BACA JUGA: PLN Bisa Hemat Rp 18 Triliun

Aval bekerja di kapal sekitar tahun 2011. Dia bertugas menggerakkan tuas-tuas di dalam crane. Memindahkan tumpukan batu bara dari kapal satu ke kapal lainnya.

Gajinya? Sangat menggiurkan. Sekitar Rp10 juta. Itu belum termasuk bonus dari perusahaan tempat dia bekerja.

BACA JUGA: Riau jadi Target Eksplorasi Cadangan Energi Baru

Meski punya penghasilan besar, Aval selalu merasa kekurangan. Lantaran boros ketika turun ke darat. Angka jutaan rupiah seakan tak terasa.

"Tak tahu, bukan saya saja. Teman yang lain juga begitu. Mestinya sisa gaji di luar kebutuhan rumah tangga, bisa ditabung lumayan. Tapi habis," akunya.

Operator seperti crane seperti Aval, memang lama di laut. Baru ke darat setelah sebulan. Paling cepat sepekan sekali, jika posisi kapal dekat dengan daratan.

"Waktu ke darat itu, kami boros benar. Apalagi kalau kapalnya dekat Samarinda atau Balikpapan, di sana kan serba mahal," katanya.

Apalagi kalau soal hiburan. Aval tak menampiknya. Itulah penyebab utama kebanyakan pekerja kapal tak bisa menabung.

"Sulit. Paling yang tak hiburan di kapal satu atau dua orang saja. Susah, pengaruhnya besar, sedikit yang bisa bertahan," tuturnya.

Syafriansyah, pekerja kapal batu bara yang juga warga Kecamatan Pulau Laut Barat itu setuju dengan Aval.

"Ngeri memang. Gaji itu kalau ke darat bisa ludes. Susah menghindar kalau diajak teman hiburan," katanya. Dia bahkan pernah menghabiskan Rp9 juta dalam satu malam. Cuma untuk hiburan.

Kembali pada Aval. Dua tahun menjalani pekerjaan itu, dia akhirnya memutuskan berhenti. Lantaran merasa pekerjaannya tak membawa dampak positif. Terutama terhadap perekonomian keluarga.

Hal lain yang jadi pertimbangan, karena dia merasa rindu kehangatan keluarga. Maklum, sebagai pekerja kapal, dapat jatah libur setelah tiga bulan bekerja.

"Gaji gede, tidak bisa menabung. Susah ketemu keluarga. Akhirnya tahun kedua saya berhenti di kapal," ungkapnya.

Aval berhenti kala itu sekitar tahun 2013. Sebelum di atas kapal, dia juga pernah bekerja di daratan, tahun 2000-an. Masih perusahaan batu bara.

Berhenti bekerja di kapal dengan gaji besar adalah keputusan berisiko. Apalagi dia punya kewajiban menafkahi keluarganya.

"Anak saya ada dua, masih sekolah. Tapi itu harus saya lakukan. Uang pesangon saya belikan tanah di kampung," kenang pria yang masih terlihat muda itu.

Anak tertua Aval, Eka. Sekarang sudah SMA. Yang paling kecil masih SD, namanya Ita. Sementara istrinya bernama Elsi.

Saat balik ke kampung, dia langsung menggarap kebunnya. "Waktu mau berhenti kerja, saya memang disarankan harus punya tanah. Kata paman saya, ada bibit sawit, juga lombok," ceritanya.

Hidup Aval berubah drastis. Yang biasanya beli rokok yang mahal, diganti yang paling murah. "Anak istri, saya bawa semua ke kampung. Meringankan beban," ucapnya.

Kala itu Aval menanami empat hektare tanah dengan kelapa sawit. Beberapa diselingi tanaman cabai. Dia bekerja sendiri. "Orang yang punya modal, menanamnya cepat. Saya sehari paling beberapa lubang bisa ditanam," ujarnya.

Kebun sawit Aval tentu saja belum bisa menghasilkan apapun. Lantas, dari mana dirinya mendapatkan uang? Jawabnya, cabai. Dia memanen tanaman tersebut setiap tiga bulan.

"Kalau dipikir, sama saja dengan saat saya kerja di kapal. Masih bisa makan dan merokok. Bedanya, handphone sekarang tak ada internet. Beli rokok juga paling murah," tuturnya.

Aval juga membantu mengurus lahan-lahan keluarganya yang lain. Hasilnya bisa membeli beras dan kebutuhan hidup lainnya. Termasuk menyekolahkan anak-anaknya.

"Kadang saya bantu bersihkan lahan keluarga, dikasih beberapa ratus ribu. Ternyata, ada saja rezekinya buat makan," sebutnya.

Sekarang usia sawit Aval memasuki empat tahun. Idealnya sudah bisa panen. Tapi lantaran tak pakai pupuk, buahnya lambat besar.

Meski begitu, dia sudah bisa bernapas lebih lapang. Karena, lahan lain yang juga tidak dipupuk pada tahun kelima sudah panen.

Menurut Aval, dalam satu hektare ada sekitar 130 pohon sawit. "Kalau nanti satu pohon saja panen 10 kilogram kali seratus pohon saja, kali harga sawit sekilo Rp1.300, berarti satu hektare menghasilkan Rp1,3 juta," ucapnya tersenyum.

Hitungan itu jika tiap pohon menghasilkan 10 kilogram. Kalau lebih, hasilnya tentu juga bakal jauh lebih besar.

Di kampung, tak cuma Aval yang berkebun sawit. Warga lainnya juga ada. Tapi kesulitan, lantaran tak cukup modal.

Hingga akhirnya, dia bersama keluarga dan sahabatnya membangun koperasi. Rencananya untuk melakukan peminjaman modal.

"Berkebun sawit tidak bisa sendiri. Harus sama-sama. Berat, tidak ada modal untuk pupuk," katanya.

Meski begitu, Aval tetap konsisten menggarap berkebun sawit. Walaupun masih ada panggilan bekerja dari agen kapal.

"Saya sudah malas. Walau sebenarnya bisa saja kebun ditinggal. Gaji di kapal juga bisa digunakan mengupah pekerja. Tapi saya sudah enak begini. Dekat keluarga, jauh dari maksiat," paparnya.

Soal dampak negatif kebun sawit terhadap lingkungan, Aval mengakuinya. "Sawit ini akarnya serabut. Jadi tidak bisa menyimpan air. Makanya kalau hujan cepat banjir. Tapi kalau kami kan sekala kecil, untuk hidup saja," katanya.

Terlepas dari itu, dia sadar satu hal bahwa Indonesia ini kaya. "Kita lambat sadarnya. Sekarang di tempat kita hampir semua kebun milik perusahaan asing. Ada dari Malaysia, sama negara lain. Kenapa dulu kita tidak garap sendiri, malah diserahkan ke orang lain," ucap Aval.

Aval sedikit protes kepada pemerintah. Lantaran warga lebih kesulitan mendapatkan lahan ketimbang pengusaha asing.

"Perusahaan asing dikasih izin. Ini warga sendiri mau garap, pada beberapa desa saya lihat susah. Tinggal sedikit lahan yang tidak masuk konsesi," keluhnya. (ma/nur)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Wakili Perusahaan Tambang, Prof Yusril Gugat Gubernur Kalsel


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler