BACA JUGA: Sebutlah Soeharto Apa Adanya
Logikanya, jika saban pelanggan rata-rata membayar Rp 1 juta dan dikalikan 1 juta sambungan, hasilnya, ya, Rp 1 triliun.Masalah yang membelit konsumen selama ini adalah antrean para calon pelanggan lebih dua tahun tercatat 1,5 juta orang
BACA JUGA: Kekeluargaan Tapi Kapitalistik
Inilah akibat kultur calo yang belum terkikis, yang jangan-jangan selama ini "dipelihara" oleh berbagai lembaga publik lainnya.Saya taksir, inilah yang dibaca oleh Dahlan Iskan
Dengan sendirinya, tradisi sogok agar sambungan listrik bisa masuk ke rumah konsumen, menjadi mati kutu
BACA JUGA: Metamorfosa Gerakan Teroris
Dahlan rupanya lebih memilih tindakan pencegahan ketimbang penindakan.Bukannya penindakan tidak penting, tetapi praktek percaloan itu sudah merasuk di mana-mana, sehingga jika harus diboyong ke meja hijau, agaknya penjara yang sudah padat akan semakin penuh sesak lagi, dan otomatis menambah anggaran negara.
Tentu saja sangat diapreasiasi, jika gerakan ini berlanjut tahun demi tahunBarulah disetop setelah daftar antrean mencapai titik nol, yang berarti budaya calon pun sirna dari tubuh PLN.
***
Semestinya, gebrakan ala PLN ini bisa menular ke berbagai institusi yang mengurusi kepentingan orang banyakModal utamanya adalah political will dari para bos saban instansiDia mau mengubah keadaan yang sudah berurat berakar dengan sebuah gebrakan yang mematikan tradisi buruk selama ini.
Bukannya malah sang bos memelihara kultur lama, yang sangat mungkin merupakan "mata pencaharian" para anak buah, yang tentu saja sang bos memperoleh setoran paling lezatBos macam ini tentu saja tak menyukai perubahan, karena kepentingan pribadinya terganggu.
Sang bos dan seluruh jajaran hingga ke hirarki yang berhadapan dengan publik harus mengubah mindset, bahwa mereka adalah "pelayan masyarakat"Bukan sebaliknya harus dilayani dengan berbagai suap dan sogokan.
Sejak era reformasi 1998 sesungguhnya proses reformasi dan demokratisasi menjadi niscayaBerbagai UU dan regulasi telah menganut asas itu, sehingga para pejabat di berbagai departemen, lembaga pemerintahan dan institusi publik wajib harus melayani publikTidak lagi dengan gaya birokrasi lama yang cenderung feodalistik.
Seorang dirut BUMN dan BUMD, juga para menteri di berbagai kementerian, termasuk para gubernur, bupati dan walikota sudah harus mengubah tekanan dari gaya birokrasi ke gaya bisnisBukan “membisniskan” kewenangan untuk kepentingan pribadiTetapi justru demi kepentingan negara dan masyarakat.
Saya membayangkan, sang bos selalu mendengar kebutuhan stake holdernya di tengah-tengah masyarakat sebagaimana pebisnis mendengar suara pelanggan atau konsumenDia selalu berikhtiar agar masyarakat puas dengan pelayanan lembaganya.
Semestinya, warga yang mengurus KTP, kartu keluarga, paspor, SIM, surat IMB dan surat izin usaha dan lain sebagainya bisa dilakukan dengan system “sapu bersih.” Sepanjang data dan syaratnya sudah lengkap dan akurat, hari itu juga bisa keluarFormatnya harus serba computerize, sebab administrasi yang manual sudah ketinggalan zaman.
Beberapa kota di Indonesia sudah dapat melakukannya, seperti urusan KTP di SoloSudah banyak pula kota dan kabupaten yang memberlakukan pelayanan satu atap, walaupun masih lebih banyak yang belum memberlakukannya.
Kemudahan berurusan dengan dana pungutan resmi yang terjangkau akan membuat iklim usaha bergairahWaktu yang dicurahkan untuk urusan adminstratif ini haruslah merangsang dunia usaha, dan bukannya kapok sehingga beralih ke daerah lain, atau bahkan negara lain.
Langkah pemerintah yang membebaskan surat IMB (izin mendirikan bangunan) khususnya kalangan menengah ke bawah, agaknya bisa meneladani gaya PLN ituJangan mentang-mentang gratis, urusannya malah dipersulit.
Alasan bahwa akan banyak kota dan kabupaten kehilangan pajak karena digratiskan justru pandangan yang keliruJustru karena gratislah maka dunia usaha menengah ke bawah akan bertumbuh luar biasaBelakangan, pemerintah kabupaten dan kota tinggal memungut pajak dan retribusi.
Jumlah pajak dan retribusi akan berlangsung terus menerus, ada yang saban bukan dan ada yang saban tahun, pasti jauh lebih besar ketimbang pemasukan dari biaya surat IMB yang justru hanya sekali pungut saja.
***
Seperti yang dilakukan PLN, kata kuncinya adalah pelayananInstitusi dan badan yang dipimpinnya diandaikannya bagaikan sebuah perusahaanAda yang diandaikannya bagai para direksi, manajer, komisaris dan pemegang saham – untuk menyebut para menteri, DPR-DPRD, dunia usaha dan masyarakatKantor yang dipimpinnya bukan milik privat.
Dia tahu bahwa rakyat membayar Pajak Bumi dan BangunanPengusaha terkena kewajiban legalTidak ada warga Negara yang tinggal gratisPunya kenderaan roda dua dan empat, kena lagi Pajak Kenderaan bermotor.
Semua juga membayar rekening listrik, penerangan jalan dan air minumNgopi-ngopi di kafe saja dibebani PPNBelum lagi pajak penghasilan, kekayaan, biaya ekspor impor, bahkan hingga retribusi parkir.
Nah, kinerja para menteri, para direksi BUMN-BUMD, pejabat daerah serta staf dan pegawai juga diukur dengan seberapa jauh mereka melakukan pelayanan publik yang maksimal, praktis, hemat waktu dan danaBukannya malah penuh dengan pungutan illegal dan birokrasi yang alot.
Sudah pasti dengan tatacara yang demikian, dunia usaha akan berkembangJika untung sudah diraih, mereka pasti sudi menyumbang pemasukan kepada negaraTidak lagi kepada kepentingan para “calo” jalanan atau malah “calo berdasi” yang jangan-jangan lebih besar ketimbang dana resmi yang masuk ke kas Negara.
Laiknya sebuah Perseroan Terbatas, lembaga dan institusi yang dipimpinnya bukanlah sebuah Yayasan SosialTapi sebuah “korporat” yang berprinsip efisiensi, efektif dan ekonomisPegawai dan karyawan yang tak memenuhi syarat, lebih baik ditawari “pensiun dini” saja.
Para bos di pemerintahan berparadigma CEO memang punya keistimewaanMereka terbiasa membuat problem solving yang menggairahkan masyarakat dan dunia usahaBerbeda dengan pejabat publik yang terlalu birokratik dan feodalistik selalu memikirkan keuntungan pribadi sehingga peluang dan laba yang hendak diraih negara pun melayang(*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengritik para Pengritik SBY
Redaktur : Tim Redaksi