Metamorfosa Gerakan Teroris

Minggu, 26 September 2010 – 01:41 WIB

BARU 20 teroris yang dibekuk, termasuk tiga orang yang tewas ditembakMenurut Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri (BHD) masih ada 15 orang lagi jaringan teroris di Medan yang berkeliaran

BACA JUGA: Mengritik para Pengritik SBY

Mereka kah gerangan yang menyerang Mapolsek Hamparan Perak, dekat kota Medan di Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara (Sumut) Rabu, 22 September 2010 dinihari silam?

Logika yang terbangun dalam pemberitaan media cetak dan elektronik tampaknya demikian
Ada yang mengatakannya, kelompok teroris itu melakukan tindakan balas dendam

BACA JUGA: Malaysia Bukan Musuh Bersama

Maklum, Densus 88 telah menembak tiga orang teroris
Kemudian, ya, nyawa bawar nyawa pula sebagaimana tiga orang anggota polisi yang tewas diberondong di Hamparan Perak.

Sesederhana itukah? Memang, jika dikaitkan dengan keterangan Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri  seusai menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bahwa tewasnya tiga anggota polisi tersebut merupakan rangkaian aksi mulai dari pelatihan teror di Aceh, rencana aksi teror di Bandung yang berhasil digagalkan polisi.

Bahkan berlanjut dengan perampokan Bank CIMB Niaga di Medan sebagai upaya konsolidasi dana dan senjata oleh jaringan lain yang berada di Sumatera Utara

BACA JUGA: Koruptor Jadi Penyapu Jalan


 
Dus, kegiatan di Sumatera Utara adalah sebagai aksi persiapan untuk aksi-aksi teror berikutnyaBahkan kepolisian telah mencium rencana akan adanya penyerangan terhadap sejumlah pejabat, anggota TNI, serta Polri yang bertugas di wilayah terpencil

Untunglah, kemudian 20 teroris berhasil dibekukTetapi bukankah masih ada setidaknya 15 orang lagi yang belum tertangkap, yakni para penyerang Mapolsek Hamparan Perak tersebut?

Marilah kita andaikan bahwa keterangan BHD itu benarNah, ini berarti telah muncul sebuah pola gerakan baruYakni, kaum teroris bahkan  melakukan perlawanan balik terhadap aparatJika semula mereka latihan di Aceh, mereka telah memasuki kota-kota besar, di antaranya kota Medan, sehingga terjadilah perampokan bank maupun penyerangan terhadap Mapolsek Hamparan Perak.

Kira-kira telah terjadi “perang kota.” Repotnya, belum ketahuan mereka di mana berada di antara sekian juta penduduk yang berdiam di kota MedanWalau tak elok berandai-andai, warga pun cemas jika entah kapan terjadi serangan mendadak, atau perampokan tiba-tiba bagi konsolidasi dana mereka.

Apakah mereka sudah mempunyai  jaringan dan pendanaan yang sangat kuat? Masih adakah anggota mereka di luar 15 orang yang belum ditangkap itu? Seberapa banyak pula?  Pertanyaan itulah yang belum terjawab.

Sebaliknya, jangan-jangan gerakan itu hanya  sekedar aksi spontan yang hendak membalas  dendam saja karena kawan-kawan mereka telah dibekuk, dan tiga orang di antaranya tewas ditembak?

“Balas dendam” itu jika diandaikan benar terjadi boleh jadi karena aksi-aksi Densus 88 pun mulai dikritik karena mengesankan (jadi belum sebuah bukti)  hanya main tembak atas tersangka terorisAdapun tentang pembuktiannya masih harus menunggu persidangan di meja hijau.

Berbeda dengan kasus pidana umum biasa, para tersangka dapat segera didampingi penasehat hukumAparat penyidik dengan demikian bisa “dikoreksi” jika penahanan tersangka belum mempunyai bukti permulaan yang cukup untuk dinyatakan sebagai tersangka maupun ditahan.

Sementara tersangka teroris perlakuan hukumnya berbeda dan bisa ditahan untuk jangka waktu yang lebih lama walau tanpa pemberitahuan kepada keluarga maupun pendampingan penasehat hukum.

Bahkan jasad para tersangka teroris belum bisa segera diambil keluargaMasih dibutuhkan otopsi, penyidikan identitas dan berbagai hal lain pentingnya untuk kepentingan penyidikanBeda dengan anggota polisi yang tewas dalam penyerangan Mapolsek Hamparan Perak malah telah dikebumikan oleh keluarga.

Perbedaan perlakuan hukum itu sesungguhnya diatur hukum jugaBukan sebuah tindakan yang diskriminatifNamun, suka atau tidak, hal itu membuka peluang adanya protes keluargaTak terkecuali dalam kasus di Sumatera Utara ternyata telah mengundang protesMisalnya, ada keluarga korban yang mengaku  keluarga mereka yang ditangkap adalah korban salah tangkap dan tidak pernah terlibat terorisme.

Kapolri BHD sesungguhnya sudah menegaskan agar masyarakat menunggu saja kelak proses peradilanSemuanya akan dibuktikan bahwa polisi tidaklah berbuat semena-menaNamun protes tetap bermunculan.

Salah satu contohnya, sebagaimana banyak diberitakan oleh media adalah keluarga Khairul Ghazali dari Tanjungbalai, Sumatera UtaraPernyataan polisi tentang terjadinya baku tembak saat penangkapan di rumah kontrakan Khairul Ghazali di Kota Tanjung Balai, dibantah pihak keluarga.

Adil Akhyar, adik kandung Ghazali, menuding penangkapan itu sarat rekayasaTermasuk soal senjata yang ditemukan Densus 88 di rumah Ghazali saat penangkapan di Bunga Tanjung, Kecamatan Datuk Bandar Timur, Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara (Sumut), sekitar 200 kilometer dari Medan.

“Tidak ada kontak senjata di sana, dan tidak ada pagar manusiaNamanya di rumah, ya ada anak dan istri, mereka bukan pagar manusia,” kata Adil kepada wartawan di Medan, Selasa (21/9/2010).

Pihak keluarga meyakini, senjata-senjata jenis AK-47, pistol jenis FN serta sangkur yang dinyatakan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri (BHD) ditemukan di rumah Ghazali, bisa saja dibawa polisi dan diletakkan di sanaKemudian dinyatakan sebagai barang bukti.

Pasalnya, kata dia, Ghazali sangat jauh dari urusan senjata, dia hanya bekerja sebagai tabib, dan menulisGhazali, yang pernah tinggal di Malaysia selama hampir 10 tahun sebelum ke pindah ke Kota Tanjung Balai, punya pengalaman sebagai jurnalis untuk sebuah terbitan di sana.

Berkenaan dengan dua orang yang ditembak mati di rumah Ghazali, Adil menyatakan keduanya adalah tamu yang datang saat berlebaranSebagai tabib, Ghazali banyak berkenalan dengan orang, dan sebagian di antaranya datang bersilaturrahmi.
 
Protes pun terdengar dengan ditangkapnya seorang anggota Majelis Mujahidin (MM) yang dinilai sama sekali tidak terkait dengan aktivitas terorismeDialah
Kasman Hadiyono alias Yono (43) yang ditangkap Densus, merupakan bendahara pada Lajnah Perwakilan Wilayah Majelis Mujahidin (MM), Sumatera Utara (Sumut).

Bahkan, Selasa (21/9) lalu, sejumlah anggota MM bersama kuasa hukumnya mendatangi Polda Sumatera Utara (Sumut) di Jl Medan, Tanjung Morawa untuk meminta keterangan perihal keberadaan Kasman karena sampai saat itu surat penahanan dari pihak kepolisian belum diterima pihak keluarga

Namun upaya mereka tidak berhasilMereka harus kecewa, karena tidak satu pun pihak kepolisian yang berwenang menerima mereka, berada di tempatMM tidak percaya Kasman terlibat dalam terorisme, sebab dalam kehariannya Kasman hanya bekerja sebagai tabib tradisional.

Tampaknya, kepolisian harus melakukan  verifikasi dan pembuktian di pengadilanSebab jika tidak justru tak mustahil memicu munculnya terorisme baru dari orang-orang yang justru tidak pernah terlibatHanya karena melihat ada orang terbunuh tanpa alasan, lalu ada yang bersimpati dan kemudian ikut terjun menjadi teroris.

Latarbelakang macam inikah yang membuat gerakan teroris bagai tak pernah padam, atau telah menemukan format baru, dari latihan di Aceh dan lalu memasuki kota-kota besar seperti Medan? Inilah PR bersama yang harus dijawab(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bukan Makan Pisang Bakubak


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler