Mengritik para Pengritik SBY

Senin, 20 September 2010 – 00:22 WIB

SUDAH menjadi tunangan pemimpin yang berkuasa di era demokrasi selalu dikritikItulah dua sisi mata uang yang ditawarkan oleh demokrasi

BACA JUGA: Malaysia Bukan Musuh Bersama

Di satu sisi, ia terpilih karena demokrasi, tapi di sisi lain ia dikritik juga karena demokrasi.

Presiden Susilo Bambang “SBY” Yudhoyono harus merelakan fenomena itu
Dia harus sudi dikritik oleh seorang anggota TNI AU, Adjie Suradji, padahal SBY adalah seorang Panglima Tertinggi.

Tapi kritik terhadap kritikpun berada di ruang demokrasi

BACA JUGA: Koruptor Jadi Penyapu Jalan

Juga  terhadap kritik Adjie Suradji, sebagaimana dimuat sebuah harian ibukota terhadap SBY sah-sah saja dikritik.

“Pujian” Adjie terhadap presiden terdahulu memang etis belaka
Apalagi di antara pemimpin tersebut sudah mendahului kita, misalnya Bung Karno, Pak Harto dan Gus Dur

BACA JUGA: Bukan Makan Pisang Bakubak

Jasa dan pengorbanan mereka tak bisa dilupakan.

Toh semasih memimpin bangsa ini, pemimpin terdahulu itu pun  tak luput dari kritikSoekarno dikecam karena membubarkan partai politik, seperti Masyumi dan PSIBahkan menangkapi “musuh-musuh” politiknya, seperti pernah dilakukan pemerintah kolonial terhadap dirinya sendiri.

Kritik  terhadap Soeharto tak kalah sengit dibanding SoekarnoTokoh ini akhirnya terjebak dalam kasus KKN (korupsi koluisi dan nepostisme) yang dahsyatTak terkecuali Gus Dur yang bersengketa dengan hampir seluruh parpol, menyusul wacana Dekrit Presiden.           

BJ Habibie yang “memerdekakan” pers dan membebaskan banyak narapidana politik, toh tersandung dalam kasus Timor-Timur yang lepas dari pangkuan RIMegawati pun dikritik karena melepas Indosat yang strategis  ke investor asing.

Saya kira “pujian” kepada SBY pun akan berkibar kelak setelah tak lagi menjabatBahkan kritik pada masa pemerintahannya positif saja adanyaKritik pada dasarnya ingin mengoreksi dan meluruskanSesungguhnya, para pengeritik menghendaki SBY sukses di era kepemimpinannya.

Hal buruk, menurut Adjie Suradji, di era SBY adalah fenomena perilaku korup para elite negeri yang belum berubahTerbukti banyaknya kasus yang maju ke meja hijau, dan masih banyak lagi yang akan menyusulTetapi sebaliknya, bukankah banyaknya kasus yang muncul telah menunjukkan bahwa mesin “antikorupsi” justru telah bekerja?

Kita akan curiga jika kasus korupsi malah menurun, atau tidak ada, yang menandakan “mesin” tadi tak lagi bekerjaPadahal, fenomena penyalahgunaan kekuasaan masih saja banyak terjadi di pusat dan daerah.

Kasus yang kebetulan belum maju ke meja hijau, atau setidaknya belum sampai ke tahap penyidikan, tak bisa disimpulkan sudah dipetieskanKasus pemilihan Deputi Gubernur BI adalah salah satu contoh, yang ternyata terus menggeliding bagai bola salju.

Lagipula yang menangani langsung perkara korupsi adalah penegak hukum dalam hal ini kepolisian, kejaksaan dan KPKBukan Presiden SBYPresiden tak mungkin melakukan intervensi, karena teori pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan judikatif tak membolehkannya.

SBY pun tidak nekad mengintenversi ketika besannya sendiri, Aulia Pohan tersandung kasus di BI yang berujung ke meja hijau dan akhirnya masuk buiPerkara kemudian Aulia meraih remisi dan grasi, memang hukum acaranya masih berlakuSebagai wacana, pembatalan hak remisi dan grasi terhadap para koruptor tentu sangat menarik.

Sayangnya pemicu pelatuk pembatalan hak remisi dan grasi terhadap koruptor itu kemudian diam, bersamaan dengan bergulirnya isu-isu baruBukannya terus diperjuangkan melalui DPR dan lembaga penegakan hukumIni bisa menunjukkan kesan bahwa ide itu hanya sekedar letupan kritik, dan terasa syarat dengan muatan politik.

ooOOoo

Barangkali, SBY bukan seorang pemimpin yang bertipe pemberaniSebagian pengamat menjulukinya sebagai peragu, to be or not to be bagai Hamlet dalam sandiwara Shakespeare tersebutTetapi ini pun masih dapat diperdebatkanBenarkah pemberani sebagai satu syarat penting bagi seorang pemimpin sejati?

Kita ingat ketika Baharuddin Lopa menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi di Sulawesi di era Orde BaruIa pernah menangani sebuah kasus korupsi yang nyaris melibatkan banyak pejabat di sanaSehingga jika kasus itu bergulir ke meja hijau bisa berakibat macetnya roda pemerintahan.

Lopa kala itu syurut dari tekadnya karena “intervensi” pemerintah pusatBelakangan ia malah ditarik dari jabatannyaTerlepas intervensi itu salah, agaknya ada benarnyaSebab macetnya roda pemerintahan di sebuah provinsi adalah “petaka” yang tak kalah dahsyatnyaJika saja Lopa – semoga arwah almarhum lapang di makamnya –menanganinya secara step by step, barangkali semua para koruptor terlibat akan menerima ganjarannya.

Idemdito saja dengan perjuangan melawan colonial Belanda pada masa revolusi pisik, 1945-1949Jika saja para pemimpil sipil tak memilih berunding secara diplomatik, tetapi mendukung perjuangan bersenjata  belaka, barangkali penyerahan kedaulatan belum tentu berlangsung pafa masa 1949-1950Barangkali, perjuangan bersenjata masih akan berlarut-larut.  Ditinjau dari sudut kemampuan tentara dan persenjataannya, agaknya Indonesia pasti kalah.

Keberanian saja tidak cukupDiperlukan strategi yang sistematisMungkin terasa kurang cepatTetapi secara perlahan bergerak ke depan, dan tak pernah mundurKonsistensi ini yang harus dipelihara, bahkan oleh presiden pengganti SBY setelah Pemilu 2014 mendatang.

Percayalah, korupsi belum akan sirna dari bumi Indonesia di akhir masa jabatan SBYPemberantasan korupsi harus dilakukan oleh presiden penerus, mungkin oleh satu atau dua presiden lagi.  Korupsi agaknya sudah sedemikian merasuk ke sumsum birokrasi di Tanah Air, termasuk hingga ke provinsi,  kabupaten, kota bahkan hingga ke kecamatan, kelurahan dan pedesaan.

Maaf, para wakil rakyat juga idemdito, termasuk ke daerahBahkan, para oknum penegak hukumCara-caranya pun semakin canggih karena belajar dari kasus terdahuluMisalnya, sudah tak berani lagi mengirimkan suap dan sogokan melalui transfer bankTetapi langsung membawa bergepok-gepok secara manualFace to faceTanpa saksi.
Adaptasi para koruptor itu saja sudah menunjukkan ketakutan untuk berbuat korupNamun dasar bajingan masih mencari peluang yang diperhitungkannya amanSebaliknya, mata public, LSM dan pers pun semakin tajam mengintai perbuatan korupsi tersebut.   

Kita berharap SBY memanfaatkan peluang pergantian Kapolri, Jaksa Agung dan Ketua KPK yang baru dan diharapkan menjadi “pendekar  hukum” yang menakutkan para koruptorMembersihkan harus dari atasJika dari bawah saja, maka yang “kumuh” akan selalu berjatuhan dari atas, dan sia-sia lagi.

Giliran berikut, para pendekar hukum tersebut akan mewanti-wanti jajarannya untuk tak mencoba “macam-macam” dengan risiko akan dicopot.    

SBY mau apa lagi sebenarnya? Toh, dia tak mungkin lagi menjadi presiden untuk priode ketigaSBY juga menegaskan bahwa istrinya juga tak akan mencalonkan diriKedua putranya? Baskoro dan Agus Harimurti? Rasanya masih terlalu dini dan belum matang untuk menjadi calon presiden pada Pemilu 2014 mendatang.

SBY berbuat sekarang ini tiada lain untuk kepentingan pemimpin mendatangKepentingan dan ekspektasi SBY sebagai pribadi sudah tamat pada 2014Dia tak lagi berkepentingan untuk program pencitraan untuk menjadi presiden ketiga kalinya(***)


BACA ARTIKEL LAINNYA... Perang Sawit & Black Campaigne


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler