jpnn.com, JAKARTA - Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) menggelar kuliah umum di Unika Atma Jaya, Jakarta pada Jumat, 18 Oktober 2024.
Acara ini membedah penghapusan mandatory spending dalam UU Kesehatan, khususnya dampak yang muncul dari kesehatan reprorduksi dan perlindungan sosial.
BACA JUGA: Iskandar Terus Menerus Diteror Setelah Laporkan Dugaan Pelanggaran Kampanye
ISKA dalam keterangan tertulis pada Sabtu (19/10/2024), menyebutkan penghapusan mandatory spending dalam UU Kesehatan menimbulkan kekhawatiran serius akan berkurangnya alokasi anggaran untuk layanan kesehatan esensial.
Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan, pengeluaran pemerintah untuk kesehatan pada 2023 mencapai 5,1% dari total APBN, namun dengan penghapusan mandatory spending, persentase ini diprediksi menurun dan berdampak langsung pada pengurangan anggaran program kesehatan prioritas, termasuk program kesehatan ibu dan anak.
BACA JUGA: Zenal Abidin dan Dadang Iskandar Perkuat Pimpinan DPRD Kota Bogor Periode 2024-2029
Hal ini berarti pelayanan kesehatan reproduksi yang sudah berjuang dengan keterbatasan anggaran akan makin sulit dijangkau oleh masyarakat yang membutuhkannya.
Dalam kesempatan itu, pembicara pertama dalam kuliah umum ini adalah Dr. drg. Paulus Januar, Mkes.
BACA JUGA: Maju Pilwalkot Bandung, Yena Iskandar Siap Berperan sebagai Ibu Bagi Para Perempuan
Paulus Yanuar menyampaikan beberapa hal yang menjadi isu kontroversi diantaranya aborsi, kelompok berisiko dan sunat pada perempuan.
Selain itu, penyakit menular seksual juga menjadi ancaman bagi kesehatan reproduksi itu sendiri. Kenyataan menunjukkan bahwa semakin banyaknya belanja kesehatan akan meningkatan taraf kesehatan.
Dia berharap pembiayaan terhadap kesehatan tetap menjadi salah satu prioritas pemerintah. Pada saat ini, RABPN tahun 2025 dianggarkan sebanyak 5,4% dan itu diharapkan dapat dipertahankan dan diserap untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.
Setelah itu, hadir secara daring Direktur Pembinaan dan Pengawasan Tenaga Kesehatan : dr. Zubaidah Elvia, MPH yang berbicara mewakili Dirjen Nakes Kemankes RI.
Dr Zubaidah menekankan mandatory spending itu bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas tenaga kesehatan yang berujung pada layanan kesehatan yang lebih baik.
Pembicara ketiga dr Ekarini Aryasatiani SpOG mengatakan dampak penghapusan madatory spending akan memperburuk kondisi kesehatan masyarakat secara umum akan brkurang, termasuk penyakit seperti infeksi, anemia, diabetes, hipertesi, kanker dan lain-lain.
Ada persoalan lain dalamkesehatan Indonesia yaitu ketimpangan akses di daerah terpencil serta distribusi tenaga kesehatan masih menjadi maslah.
Usulan konkret pengembangan kebijakan berdasarkan masyakarat yang mempettimbangkan keutuhan lokal.
Selain itu penting juga untuk kesehatan reproduksi meskipun dalam kosisi keterbatasan anggaran. Salah satunya adalah melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak.
Sebuah Keprihatinan Atas Hak Dasar
Kuliah Umum yang dilakukan ISKA menyimpulkan suatu sikap keprihatinan atas penghapusan mandatory spending dalam Undang-Undang Kesehatan yang berpotensi melemahkan dukungan terhadap sektor kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi dan perlindungan sosial.
Kesehatan reproduksi merupakan hak asasi manusia yang fundamental dan harus dijamin oleh negara. Berdasarkan data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), akses terhadap layanan kesehatan reproduksi masih belum merata, dengan sekitar 33% perempuan di Indonesia melaporkan kesulitan mengakses layanan kesehatan reproduksi yang layak, terutama di daerah pedesaan dan terpencil.
Ketua Presidium Pengurus Pusat ISKA Luky A Yusginatoro juga menilai bahwa kesehatan reproduksi adalah hak dasar yang harus dijamin negara. Berdasarkan laporan WHO dan UNFPA, angka kematian ibu di Indonesia masih tergolong tinggi, mencapai 305 per 100.000 kelahiran hidup pada 2022, salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara.
“Penghapusan mandatory spending dapat memengaruhi akses terhadap layanan kesehatan ibu, perawatan kehamilan, serta layanan kontrasepsi yang sangat penting dalam menurunkan angka kematian ibu,” ujar Luky.
Menurut Luky, ISKA menilai setiap kebijakan yang melemahkan sektor kesehatan reproduksi sama dengan melanggar martabat dan hak dasar manusia, terutama perempuan.
Perlunya Kebijakan yang Adil
Kuliah umum itu kemudian merekomendasikan agar ISKA mendesak pemerintah untuk merumuskan alternatif kebijakan yang tetap menjamin anggaran kesehatan, khususnya untuk kesehatan reproduksi dan perlindungan sosial.
Alokasi anggaran yang adil dan berkelanjutan sangat diperlukan untuk menjamin keberlangsungan program-program kesehatan yang vital bagi masyarakat.
Berdasarkan studi dari Kementerian Kesehatan, hanya 40% dari total anggaran kesehatan di daerah-daerah yang dialokasikan secara optimal untuk program-program prioritas.
ISKA menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan anggaran untuk memastikan bahwa kebutuhan kesehatan masyarakat tetap menjadi prioritas utama.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari