Genjot Cukai di Tengah Ekonomi Sulit, Pemerintah Dianggap Abai

Kamis, 03 September 2015 – 06:20 WIB
Genjot Cukai di Tengah Ekonomi Sulit, Pemerintah Dianggap Abai

jpnn.com - JPNN.com - Mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier mengatakan bukan waktu yang tepat bagi pemerintah menggenjot cukai di saat ekonomi sedang lesu. Apalagi kenaikan target pedapatan cukai dipaksakan di sektor tembakau.

"Yang mencapai target selalu cukai rokok, industri yang memiliki sifat kepribumian. Tapi ini pun mulai diganggu. Sebaiknya pemerintah tidak usah menaikan cukai tembakau. Ingat, yang bikin tidak sehat tidak cuma rokok tapi juga polusi-polusi di jalan," tegas Fuad, dalam sebuah diskusi, Rabu (2/8).

BACA JUGA: Kabar Gembira! Pertalite Kini Tersedia di 187 SPBU di Jabar

Seperti diketahui, pemerintah berencana menggenjot kenaikkan cukai rokok lebih 20 tahun 2016. Oleh Fuad, rencana kenaikan dianggap sebagai bentuk ketidakpedulian terhadap industri nasional.

Pemerintah akan menerapkan kenaikan cukai pada 2016 mencapai Rp 148,9 triliun. Kenaikkan cukai setinggi itu tercantum dalam nota keuangan dan keterangan pemerintah tentang RUU APBN 2016. Target tersebut dinilai memberatkan karena peningkatannya mencapai 23,6% dibandingkan dengan target cukai 2015 yang tertuang di APBN yang diteken di September 2014, yaitu sebesar Rp 120,6 triliun.

BACA JUGA: Proyek Sejuta Rumah, emang Lokasinya dimana?

Fuad mencurigai, di balik rencana kenaikan cukai itu ada titipan pihak tertentu. Sebab, secara objektif, industri rokok paling banyak lokal kontennya, seperti bahan baku, tenaga kerja, bahkan kontribusi ke penerimaan negara lebih dari 50 persen.

"Target pajak dan cukai pemerintah terlalu ambisius. Padahal dalam tiga tahun terakhir kinerja perpajakan di tiap semester I hanya 43 persen. Sekarang saja semester I baru 37 persen," tandasnya.

BACA JUGA: AS Dukung Program Pembangkit Listrik 35 Ribu MW

Imbas dari kenaikan target cukai yang eksesif, apalagi dibarengi dengan melemahnya daya beli masyarakat,akan langsung dirasakan oleh pabrikan rokok, tenaga kerja, serta petani tembakau dan cengkeh. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir saja, ratusan perusahaan rokok gulung tikar dan telah terjadi PHK besar-besaran yang dilakukan oleh perusahaan kecil maupun besar.

"Cukai rokok satu satunya pajak yang tercapai targetnya tahun 2014 dan 2015. Sudah tinggi tapi bisa tercapai, jangan dimusuhi karena banyak juga unsur komponen di dalam negerinya. Jangan terlalu serakah nanti malah matiin, jangan terus diuber uber nanti malah gembos," tandas Fuad.

Ia menambahkan, jika pemerintah terlalu ngotot menaikan cukai apalagi dengan menerapkan kebijakan yang tidak dikonsultasikan dengan industri dan dipaksakan seperti PMK 20/PMK.04/2015 yang berisikan penghapusan fasilitas penundaan pembayaran pita cukai melalui mekanisme pencepatan pembayaran tahun berjalan, akan kian memberatkan industri.

"Sekarang ini cukai rokok sudah sangat besar pemasukan ke negara juga sudah bagus, jadi jangan dimatikan. Tidak usah cukai naik lagi. Nanti petani tembakau itu bisa ribut, PHK juga bakal lebih banyak jadi pemerintah tidak usah bikin gol bunuh diri,"tegas Fuad.

Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) mencatat pemerintah telah menaikkan tarif cukai rokok rata-rata sekitar 16 persen dalam lima tahun terakhir. Kebijakan itu telah mematikan ribuan perusahaan rokok kecil yang ada di Indonesia.

Pada tahun 2014, dengan kenaikan cukai kurang dari 12 persen, telah terjadi PHK 10 ribu buruh rokok kretek, hampir semua perempuan. Kemudian, pada 2009 jumlah pabrik rokok sebanyak 4.900-an pabrik, dengan kenaikan cukai saban tahun, sekarang tinggal 600-an pabrik.

"Pemerintah mestinya realistis. Seringkali pemerintah berargumen bahwa data menentukan kebijakan. Jika pemerintah tak mampu melihat data kondisi rill maka kebijakan pun salah, sehingga terkesan industri jadi target buru pemerintah," kata Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Soemiran. (jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... INDEF Minta Kucuran APBN ke Daerah Dievaluasi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler