jpnn.com - JPNN.com - Ada hal yang menarik dari diskusi mengenang George Junus Aditjondro yang diadakan INTRANS di Iceberg Cafe Cikini pada Minggu, 18 Desember 2016.
Salah seorang pembicara yang sekaligus orang yang selama ini mendampingi Aditjondro dalam melakukan penelitian, Woro Wahyuningtias memberikan kesaksian yang cukup mengejutkan.
BACA JUGA: Teguhkan Komitmen Kepada NKRI, Fatayat NU Gelar Konsolidasi dan Pengkaderan
Tidak hanya fakta soal buku Gurita Cikeas. Tapi juga mengenai kasus pembunuhan Munir Said Thalib, aktivis Hak Asasi Manusia yang berencana melanjutkan studi ke Belanda.
Seperti diketahui, Munir dinyatakan meninggal 7 September 2004, tepat ketika Indonesia menjelang suksesi kepemimpinan nasional tahun 2004.
BACA JUGA: JPU Menilai Buku Ahok Berpotensi Picu Perpecahan Anak Bangsa
Meski beberapa nama sudah dijatuhi hukuman, namun misteri sekitar kematiannya masih gelap. Hal ini kemudian mencuat kembali menjelang aksi Bela Islam 411 dan 212, ketika Istana Merdeka menyatakan bahwa dokumen hasil penelitian Tim pencari Fakta Kasus Munir dinyatakan hilang ketika SBY masih menjabat Presiden. Cikeas panas dan segera melakukan klarifikasi atas hilangnya dokumen tersebut.
Di awal diskusi Woro Wahyuningtias, Direktur JKPLK, menyebutkan
BACA JUGA: Picu Jumlah TKA Ilegal Meningkat, Bebas Visa Minta Dievaluasi
“Jika dulu Ramadhan Pohan mengatakan ‘siapa George Aditjondro ini?’ itu karena Ramadhan tidak mengenal George, padahal sejak dulu George sudah mengendus gurita bisnis keluarga Cikeas, yang mungkin jika tidak ada buku George, kekayaannya bisa melebihi keluarga Cendana hari ini, Karena buku George maka beberapa yayasan dan perusahaan milik Cikeas operasinya dihentikan.”
Meski selalu dituding kontroversial dan terkesan mencari sensasi dalam setiap penelitiannya, Wilson, peneliti yang saling kenal pada tahun 1992 dirumah Arif Budiman di Australia menagtakab bahwa Aditjondro selalu menempatkan posisinya sebagai seorang intelektual.
“Boleh orang berpendapat macam-macam tentang metodologi penelitian George Aditjondro. Namun ada tiga pola yang bisa menunjukkan posisi intelektual," katanya.
Pertama, Aditjondro punya pendirian bahwa sebuah penelitian haruslah mengabdi pada kemanusiaan. Penelitian tidak mengabdi pada pemberi dana atau pihak yang memfasilitasi penelitian itu.
Sebuah penelitian harus memiliki tendensi kemanusiaan, dia harus memberi arti pada kemanusiaan.
Kedua, George selalu berpola pada satu pakem dimana dirinya adalahb orang pertama yang berani menyatakan bahwa selalu ada tiga unsur dalam sebuah konflik atau korupsi yakni: Tentara, Penguasa dan Pengusaha. Ini secara konsisten selalu muncul dalam tulisan-tulisan dan ekspos hasil penelitiannya.
Ketiga, George adalah orang yang disaat dia meneliti akan terlibat jauh dan menunjukkan keberpihakannya pada korban, kelas sosial tertentu, keadilan dan gender. Ini tiga hal yang konsisten selalu muncul dalam seluruh riset dan penelitian George.”
Soal kontroversi bukunya Membongkar Gurita Cikeas, Andi Saiful Haq dari INTRANS mengatakan bahwa sosok Aditjondro sangat dapat dipercaya.
“Aditjondroini autentik, dia seperti diciptakan dengan indera penciuman yang tajam untuk mengikuti jejak persekutuan modal dan mesiu. itu menjelaskan mengapa George kadang datang dan pergi ditempat yang tidak diduga-duga, karena George yakin, modal memang bisa beredar dalam bentuk maya, namun pada akhirnya dia hanya menjadi kertas jika tidak dibelanjakan di bumi," katanya.
(JPNN)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tingkatkan Kualitas Publikasi MPR, Minta Masukan Praktisi Media
Redaktur : Tim Redaksi