jpnn.com, JAKARTA - Gerakan Rakyat Menggugat (GeRAM) mempertanyakan mengapa Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh, Aceh Barat, Provinsi Aceh, menerima Gugatan PT Kalista Alam (KA) yang disidangkan hari ini.
Di sisi lain, putusan Mahkamah Agung (MA) yang sudah inkrah eksekusinya diabaikan hingga sekarang.
BACA JUGA: Daftar Tuan Rumah PON, Sumut Siapkan Lahan 100 Hektare Â
Tahun 2014, PT Kalista Alam (PT KA) telah dinyatakan bersalah melakukan pembersihan lahan dengan cara membakar lahan gambut rawa Tripa di Kabupaten Nagan Raya.
Pada tingkat pengadilan pertama, Pengadilan Negeri Meulaboh di Aceh Barat memerintahkan PT KA membayar Rp 114,3 miliar kepada negara dan Rp 251,7 miliar untuk memulihkan kawasan seluas 1000 hektare lahan yang dibakar.
BACA JUGA: Pernyataan Tegas Siti Nurbaya di Konferensi Iklim Dunia
Hanya saja, PT KA tidak menerima putusan tersebut dan melakukan banding di Pengadilan Tinggi Aceh dan terakhir melakukan kasasi.
Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi PT KA dan memerintahan PN Meulaboh melaksanakan eksekusi terhadap PT KA.
BACA JUGA: Dunia Mengapresiasi Strategi Indonesia Melindungi Gambut
Putusan MA adalah kemenangan penting bagi pemerintah dan kemenangan hukum perlidungan lingkungan di Indonesia.
Bagi masyarakat lokal, kemenangan ini adalah keadilan dan inisiasi penting bagi usaha pemulihan di Tripa.
Hanya saja, dua tahun setelah putusan MA, eksekusi terhadap putusan belum dilakukan.
Menurut pengacara GeRAM Harli Muin, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyampaikan permohonan eksekusi putusan inkrah kepada Ketua PN Meulaboh.
PN Meulaboh tidak memiliki alasan yang kuat untuk menunda pelaksanaan eksekusi putusan tersebut.
“Kami tahu bahwa PT KA melakukan Peninjauan Kembali (PK) pada September 2016. Namun, menurut Pasal 66 ayat 2 UU No.14 Tahun 1985, PK tidak dapat menunda pelaksanaan eksekusi,” kata Harli dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (28/11).
Juru bicara GeRAM Fahmi Muhammad menambahkan, sejak 18 April 2017, MA sudah menolak permohonan peninjauan kembali PT KA.
Karena itu, PN Meulaboh tidak memiliki dasar hukum untuk menunda pelaksanaan eksekusi putusan.
“Sebenarnya, tidak ada gugatan baru yang diajukan oleh perusahaan bisa membenarkan pengadilan untuk menunda eksekusi keputusan dan juga tidak ada justifikasi untuk memberikan terdakwa ‘perlindungan hukum’,” kata Fahmi.
Lahan gambut rawa Tripa merupakan salah satu lahan gambut dari tiga lahan gambut terluas di Aceh dengan kedalaman mencapai 12 meter.
Lahan itu memainkan peran penting bagi penyerapan karbon di Aceh.
Jutaan ton karbon lepas ke atmosfer setiap tahunnya dengan cara pembakaran hutan gambut dan merupakan masalah di Indonesia.
Kejadian ini tidak hanya membebani ekonomi Indonesia, tetapi juga kesehatan dan keamanan warga negaranya.
Selain itu, juga merugikan negara tetangga seperti Singapura dan juga berkontribusi terhadap perubahan iklim global. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... ATM 2017 Beri Multiplier Effects untuk Industri Pariwisata
Redaktur & Reporter : Ragil