Gerbong, Suksesi & Rekonsiliasi

Sabtu, 15 Agustus 2009 – 12:50 WIB
TIDAK karena ayam jantan lupa berkokok menjelang Subuh, lalu sholat wajib itu ditundaIdemdito dengan Presiden RI

BACA JUGA: Debat Tak Kunjung Usai

Kendatipun Susilo "SBY" Bambang Yudhoyono atas nama konstitusi tak mungkin lagi mencalonkan diri sebagai presiden untuk ketiga kalinya pada 2014, tapi seyogyanya sudah disongsong oleh sistem regenerasi patah tumbuh hilang berganti.

Suksesi alamiah itu yang belum direkayasa selama ini
Soekarno dan Soeharto jatuh karena tragedi, bahkan tidak melalui sistem pemilu dan pemilihan presiden (pilpres)

BACA JUGA: Ibunda Bagai Salak Berduri

Namun cara-cara yang konstitusional melalui pilpres, dalam pengalaman 2004 dan 2009 terkesan hanya sekadar tersedianya sebuah gelanggang demokratis
Siapa suka, silakan maju.

Tidak bisakah suksesi itu dipersiapkan justru di awal masa jabatan SBY yang kedua kalinya pada 2009 ini? Persiapan setahun atau dua tahun menjelang pilpres terasa terlalu singkat, dan bahkan sedikit banyaknya rada mengganggu intensitas jalannya pemerintahan, baik di eksekutif dan legislatif

BACA JUGA: Apa yang Kau Cari, Palupi?

Maklum, sudah mulai "demam" pemilu plus pilpres.

Dipersiapkan di awal, bukan berarti sudah "main politik-politikan" sehingga tak sempat membangun Indonesia tersayang iniJustru dengan jalannya "pembangunan" (jangan alergi dong, dengan istilah Orde Baru) itulah yang merupakan persiapan bagi suksesi seorang presiden.

Saya membayangkan, SBY akan menempatkan para tokoh Demokrat secara berjenjang umur dan berjenjang pengalaman di pemerintahan dan yang memimpin di DPR, sekaligus juga di Partai Demokrat.

Perkenankan saya mengintrodusir, alangkah elok jika ada kategori kelompok umur (KU) di ketiga lembaga pematangan dan penggodokan kader itu, yakni pemerintahan, DPR dan partaiTentu saja faktor kualitas ikut ditimbang-timbangJuga keragaman profesiJadilah ada tiga gerbong yang disiapkan sejak awal 2009 hingga 2014.

Untuk memudahkan identifikasinya, misalnya KU I yang berusia 50-60-an tahunKU II disusul yang berumur 40-50-an, dan terakhir KU III berusia 30-40-an tahun.

Tatkala Pemilu 2014 tiba, maka KU 50-60-an, sebagian di antaranya, yakni para senior yang berumur 65-66 tahun ke atas tiba masanya mengucapkan "goodbye" dari panggung politik praktis, dan menjadi kelompok penasehat partaiTiba giliran KU II dan KU III yang naik "kelas" bertarung pada Pemilu 2014Bahkan itu pun telah disusul gerbong baru, yang tetap di KU III yang berusia 30-40-an tahunDan begitu seterusnya.

Bukan tak mustahil dalam perjalanan lima tahun 2009-2014 ada saja kader yang terpeleset, dan apa boleh buat harus didegradasikan dan digantikan kader berikut di bawahnya bak urut kacang, baik dalam usia, pengalaman, kualitas, keragaman profesi dan sebagainyaYang membuat cela, harap minggir!

Embrional kebangkitan republik kita pun lebih kurang seperti ituDiawali angkatan 1908, disusul angkatan 1928 lalu angkatan 1945Tentu saja dengan sedikit deviasi di sana sini, lumrah saja lah.

Sekadar contoh, Akbar Tandjung kader Golkar sejak era Orde Baru itu, tak tiba-tiba menjadi Ketua Umum Golkar pada 1998 dan Ketua DPR pada 1999-2004Tetapi ia merangkak dari bawah, sejak memimpin HMI, KNPI, lalu menjadi menteri berkali-kaliBukan pemimpin karbitan yang mendadak sontak.

***
Saya berharap proses yang sama juga berlangsung di partai-partai pendukung pemerintahan maupun yang di luar pemerintahanBedanya, partai di luar pemerintahan hanya punya dua lembaga pematangan dan penggodokan, yakni di DPR dan partai.

Tak tiba-tiba yang berada pada KU II dan III loncat memimpin partai, yang sebentar lagi akan musim munas, kongres atau muktamarBagaimanapun, living reality di tubuh partai tak bisa dikesampingkan oleh perasaan-perasaan bahwa "Saya mampu lho"Kecuali, ada kenyataan obyektif dan demokratis mengatakan "Anda memang mampu dan Anda kami jagokan" adalah kasus pengecualian.

Membusungkan seraya mendabik dada, "Ah, kita perlu perubahan" terdengar sloganik, mengingat day to day dunia politik yang pragmatisTentu saja ada yang "salah"Bahkan "kelemahan" di tubuh gerbong KU I dan II, suatu hal yang tak mustahil pula diderita gerbong KU IIIKita semua manusia juga, bukan?

Berdamai dengan keadaan, termasuk dengan masa lalu, dan kemudian menatap ke masa depan yang panjang, adalah ciri seorang modernis yang realistisBetapapun anak-anak muda kesal dan sebal melihat para seniornya, tetapi mereka dan juga yang muda telah masuk ke dalam problem dan seyogyanya sekaligus semua ikut menjadi solusinya.

Peta politik antar-generasi seperti dilukiskan agaknya rada merata di tubuh partai-partai kitaJika pun tak mengemuka secara terbuka dan blak-blakan, meski di Golkar tercetus juga, tetapi secara implisit dan remang-remang hal itu tertangkap publik jugaBicaralah hati ke hati dengan berbagai tokoh parpol, maka faksional itu pasti ada, dan memang ada.

Barangkali dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan, SBY sangat dipujikan jika melakukan "rekonsiliasi" yang sama dalam penyusunan kabinetSeperti pernah saya tulis di ruangan ini juga, bahkan Soeharto pun merekrut pemimpin partai yang non-Golkar di tubuh kabinetnya.

Tokoh parpol dan pengamat politik tak perlu buru-buru menuduh bahwa jika fenomena itu terjadi, lalu berkata, "Nah, ini diaKita kembali ke era Orde Baru" - di mana pemerintahan semakin kuat karena didukung semua partai di DPR.

SBY tentu sangat sadar dirinya bukanlah replikasi Soeharto, seperti sangat sadarnya tokoh parpol yang berseberangan dengan Demokrat pada Pemilu dan Pilpres 2009 lalu – sekiranya masuk ke dalam kabinet -  bukanlah dalam rangka ke-Orde Baru-an yang sudah silam itu.

Apa kata khalayak jika misalnya tindakan SBY mengakomodasi semua kekuatan parpol besar adalah karena kehendak menciptakan perpolitikan yang monolit? Apakah SBY sama sekali tak khawatir jika civil society mengecamnya, dan boleh jadi juga oleh dunia internasional jika hendak mereplikasi Orde Baru?

Zaman sudah berubahEra reformasi yang merupakan transisi menuju demokratisasi sudah rada terlewati, meski belum 100 persenLagipula, pers, NGO dan berbagai kekuatan demokrasi tak bisa dibungkam, jika praktek Orde Baru, misalnya yang KKN, dikhawatirkan akan terulangMasa sih, SBY mau KKN? Wallahualam bissawab!

Tak berarti jika parpol besar dan menengah ikut mendukung pemerintahan, lalu kritik menjadi dipantangkanKritik sesama "teman" pastilah tak menyakitkanKritik "teman" pun walau pahit tapi benar, pastilah demi kebaikan "teman" yang dikritik.

Rasanya-rasanya kelak, kompetisi Pemilu dan Pilpres 2014, kita bayangkan bagai Piala Dunia yang ditonton masyarakat dunia dengan gairah yang menggelegakDi ujung pesta, yang menang tak arogan, kalah tetap sportif.

Dalam iklim seperti yang kita bayangkan, yang ditakutkan malah adalah "puja-puji" yang membikin terlena, lengah dan lalaiAnda setuju? (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Golkar Pionir Tinggal Sejarah


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler