BACA JUGA: Apa yang Kau Cari, Palupi?
Tiba-tiba kita ingat Jimly Asshiddieqie, mantan ketua MK ituBACA JUGA: Golkar Pionir Tinggal Sejarah
Banyak pertikaian konstitusional telah diselesaikan lembaga ini.Kali ini sang “ibunda” kembali diuji dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan penghitungan tahap kedua dan menyebabkan ketimpangan (disproporsionalitas) yang dahsyat
Dengan ketukan palu MA itu akan terjadilah malproporsionalitas, yakni tercederainya sistem proporsional
BACA JUGA: Quo Vadis, Gollkar?
Mestinya raihan kursi saban parpol harus seimbang dengan capaian suaranyaSebuah parpol, misalkan membetot 3,77% suara tetapi kok meraih kursi cuma 0,89 persen di DPR? Ada pula partai dengan suara 4,46 persen, tapi hanya kebagian 1,43 persen kursiPadahal, system pemilihan langsung mengharuskan one man, one vote, serta one valueJika asas ini dilanggar, betapa hak politik pemilih telah direduksi dan dilenyapkanKontroversinya, parpol besar naik jumlah kursinya, partai menengah makin terpurukTak hanya di DPR, tetapi juga di DPRD provinsi, kabupaten dan kota
Belum sempat diajukan dan disidangkan MK, eeh, KPU berpendapat bahwa putusan MA yang membatalkan penghitungan kursi tahap II ternyata tidak berlaku surutArtinya, putusan MA itu tidak berlaku untuk hasil Pemilu 2009
Anggota KPU I Gusti Putu Artha di Kantor KPU, Kamis (30/7), menegaskan, bahwa MA memberi waktu 90 hari untuk melaksanakan putusan tersebutArtinya, sebelum 90 hari itu peraturan KPU dan SK tentang penetapan kursi dan caleg yang telah dibuat KPU tetap dianggap sah
Jika kita menghitung hari, maka pelantikan anggota DPR yang dijadwalkan pada 1 Oktober 2009, pelantikan itu juga masih sah selama KPU belum mencabut SK 259 tentang penetapan kursi yang telah dibuatnyaJika putusan MA dikeluarkan 22 Juli, dan 90 hari kemudian adalah 20 Oktober.
Akibatnya, KPU hanya menyingsingkan lengan untuk kasus gugatan Pilpres di MKTak kepalang jika kubu Mega-Pro memboyong bukti yang lengkap sampai 50 berkas dokumen bukti-bukti pelanggaran dan kecuranganBukti itu, antara lain, berupa data penggelembungan suara di sejumlah daerah, hatta total ada 28 juta suara mengalir ke pasangan calon SBY-Boediono
Syahdan, penggelembungan suara itu ditemukan di 22 provinsiPetitum kubu Mega-Prabowo menuntut agar pemilihan presiden 2009 diulangDiduga terjadi penggelembungan suara yang menguntungkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.
Bahkan, kubu Mega-Pro meminta penghitungan suara ulang di sejumlah daerah bermasalah dan pemilihan putaran keduaUntuk penghitungan ulang, mereka telah mengumpulkan bukti berupa formulir C-1 atau formulir rekapitulasi di tempat pemungutan suara
Pemilihan putaran kedua mereka gugat karena dalam perhitungan kubu ini ternyata perolehan suara Yudhoyono-Boediono tak mencapai 60,8 persenKira-kira hanya mencapai 48,6 persenDaftar pemilih tetap pun masih kasusBanyak nomor induk kependudukan, nama, tempat-tanggal lahir, dan alamat pemilih yang ganda.
Tuntutan pembatalan hasil penghitungan suara juga diajukan kubu Jusuf Kalla-Wiranto ke MKMereka meminta agar keputusan penghitungan suara dibatalkanMereka bisa membuktikan bahwa kecurangan dilakukan secara sistematis dan massif, dan bisa mengubah hasil pilpres
Pemutakhiran daftar pemilih tetap (DPT) yang tidak diberitahukan kepada calon presiden juga digugat kubu JK-WinLagipula, banyak ditemukan nomor induk kependudukan (NIK) gandaTotal ada 30 juta nama dengan tanggal lahir dan NIK yang sama, dan dinilai menguntungkan pasangan tertentu
Walau belum bertarung di MK, tetapi aksi berbalas pantun sudah terdengarKubu SBY membantah adanya penggelembungan 28 juta suara seperti dituduhkan ituBahkan, kubu incumbent ini siap pula membuktikan bahwa kubu Mega-Pro juga melakukan kecuranganPresiden SBY bahkan mengajak semua pihak memakal akal sehat, namun tetap siap “bertempur” di MK
Tak pelak, MK menjadi benteng terakhir dari “pertahanan” demokrasi di Tanah AirMampukah MK mengemban tugas yang berat dan mulia itu? Beberapa kasus membuktikan publik legaPutusan MK yang menetapkan bahwa dasar keterpilihan seorang anggota legislatif bukanlah nomor urut, melainkan jumlah suara yang diraih, dinilai demokratis
Meskipun putusan itu sempat menimbulkan ekses di kalangan aktifis feminis, bahkan juga “persaingan” antarcalon anggota legislatif yang separtaipolitik sekalipun, tetapi akhirnya berlalu dengan mulusEkses-ekses itu mestilah dipahami bahwa ternyata banyak di antara kita yang belum bisa menerima sesuatu yang demokratis dan reformis karena terbiasa dengan “demokrasi ala Orde Baru.”
Bahwa kemudian putusan MK itu telah merombak sekitar 70-80% wajah lama di DPR dan DPRD dengan penampilan wajah baru, bukanlah merupakan kesalahan putusan MK ituBoleh jadi karena tradisi lama, bahwa jika sudah di urutan nomor basah sudah pasti terpilih, sehingga para calon kurang bersosialisasi dengan konstituen dan ikhtiar individual pun merosotMental politik yang demikian itu yang kemudian “ditebas” oleh MK
Barangkali, pendidikan poltik rakyat pemilih juga belum memadai, mungkin saja karena faktor sosial ekonomi, sehingga terdorong memilih calon yang rajin berkunjung, yang menebar bantuan ini itu, atau tergoda karena populeritas calon dari kalangan selebritis
Tradisi politikus dan rakyat pemilih di masa demokratisasi dan reformasi yang masih transisional itulah, yang dikoreksi oleh putusan MK tersebutPutusan MK yang konstitusional itu terkesan berlari lebih cepat dibanding kultur politik para elit dan rakyat yang masih terpengaruh residu Orde BaruPutusan MK itu merangsang elit dan masyarakat untuk melakukan ekselarasi budaya politik sehingga relevan dengan tuntutan konstitusi, yang selama ini diabaikan
Apakah kali ini MK berani memutuskan bahwa konstitusi dijunjung di atas segala-galanya? Kita membayangkan putusan MK tak semata mempelototi hukum acara dan pembuktian material semataTeramat penting adalah nafasnya yang berfilsafat kepada konstitusi, dan demokrasi itu sendiriPara hakim di MK, so pasti sudah sangat mafhum, dan tak lagi perlu diajari bagai cara salak berduri**
BACA ARTIKEL LAINNYA... Presiden yang Naik Kelas
Redaktur : Tim Redaksi