Bila Anda naik kereta api ke arah utara keluar Kota Perth, dalam beberapa jam Anda akan melewati sebuah kota kecil bernama Dalwallinu.
Sekilas kota ini tampak sama seperti kota-kota pedalaman penghasil gandum di Australia Barat. Ada padang rumput kecoklatan dan bunga-bunga liar di musim semi, jalan utama yang lebar dan pub tempat minum-minum bernuansa pedesaan yang khas.
BACA JUGA: Imigran Bebas ke Puncak Bogor, Sekarang Sudah 1.690 Orang, Ade Yasin Angkat Tangan
Tapi bila memperhatikan lebih dekat, Dalwalliny yang sering disebut Dally oleh warga setempat, tampak memiliki perbedaan.
Pasalnya, di samping jejeran rumah khas pedesaan yang sederhana, ada pula tempat tinggal megah yang tak kalah bila dibandingkan dengan rumah-rumah di Kota Perth.
BACA JUGA: Tiongkok Tuduh Pesawat Pengintai Australia Beroperasi di Laut China Timur
Jalan utama Dally kini lebih ramai, banyak perumahan sedang dibangun, dan suatu kawasan industri yang berkembang mempekerjakan ratusan karyawan.
Meskipun angka sensus terbaru belum dirilis, data terakhir menunjukkan populasi Dally meningkat hampir 13 persen dari 2011 hingga 2016.
BACA JUGA: China Terus Dukung Invasi Rusia, Amerika Lontarkan Ancaman Serius
Kepala pemerintahan lokal Dally, Keith Carter, menyebut populasi di kotanya kini telah tumbuh lebih banyak.
Jadi apa yang menjadi rahasia kota ini? Mengapa Dally bisa berkembang sementara kota-kota di sekitarnya justru mengalami populasi yang menyusut dan menua?
Jawabannya cukup beragam. Namun apa pun itu, pasti tak terlepas dari kehadiran Gereja dari sekte Brethern yang terkenal kaya, pekerja migran dan petani setempat yang umumnya menerima kedua kelompok pendatang itu.
Exclusive Brethren adalah sekte Agama Kristen yang memisahkan diri dari Gereja Inggris pada awal 1800-an dan telah menetap dalam komunitas pedesaan di Australia dan negara lainnya.
Brethern sudah tidak asing dengan kontroversi. Sekte ini dikutuk karena kecenderungannya untuk mengucilkan secara kasar dan mengisolasi mereka yang melanggar keyakinan agamanya.
Namun warga setempat juga dapat memperoleh manfaat dari kegiatan ekonomi yang dilakukan pengikut Brethern, yang umumnya ditoleransi dan bahkan disambut hangat di Dally karena lapangan kerja dan pekerja terampil yang mereka bawa. Kekurangan pasokan rumah
Kepala Pemerintahan Lokal (shire) Dalwallinu, Keith Carter, yang mengaku bukan pengikut Brethren, menganggap dirinya cukup beruntung dibandingkan dengan para pemimpin shire lainnya.
"Setelah saya menjadi pejabat, saya menyadari betapa beruntungnya Dalwallinu dan bagaimana masalah yang kami hadapi berbanding terbalik dengan kota-kota lain," kata Keith yang sudah 11 tahun bekerja di shire.
Bukannya mengeluhkan populasi yang semakin berkurang seperti dialami kota-kota pedalaman lainnya, Keith justru kesulitan membangun perumahan yang cukup untuk populasi yang terus bertambah.
"Kami telah membangun 13 blok perumahan. Kalau tidak salah, lima di antaranya terjual dalam minggu pertama," katanya.
Sisanya, katanya, habis terjual dalam setahun.
Keith Carter menyebut keberhasilan kotanya sebagian besar karena lapangan kerja yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan yang dijalankan oleh para pengikut Brethern.
Di antaranya ada perusahaan produksi plastik, beton, pertambangan, dan plastik yang sebagian besar dikelola oleh pengikut Brethern dengan mempekerjakan ratusan karyawan di Dally.
"Yang menggembirakan karena kami kedatangan pengusaha ke kota ini sehingga biar pun sektor pertanian mengalami kekeringan atau kendala keuangan, sektor dunia usaha masih dapat mendapatkan pekerjaan dari semua industri," kata Carter.
"Tentu saja hal ini kemudian berdampak pada toko-toko lokal," tambahnya. Menyambut para migran
Kim Ray adalah pengikut sekte Brethren yang lahir dan dibesarkan di Dalwallinu. Ia memiliki enam anak dan mengelola usaha pertanian keluarga.
Ketika masa depan di sektor pertanian tampak suram, keluarganya membuka perusahaan teknik pertambangan.
Saat ini perusahaannya mempekerjakan 50 karyawan.
"Kami beralih ke bidang teknik dan dengan itu kami telah membangun infrastruktur di kota ini," kata Kim kepada ABC News.
"Anak-anak saya semuanya membangun rumah di kota dan keluarga lain juga melakukan hal yang sama," tuturnya.
Kim menyebut keberhasilan Dalwallinu sebagai kota pedalaman disebabkan oleh banyaknya keluarga yang telah berinvestasi di kota ini dalam jangka panjang.
Selain itu, katanya, karena lokasinya terletak antara daerah pertanian dan pertambangan, dan datangnya pekerja migran yang mengisi lowongan kerja yang ada.
"Visa pekerja terampil telah memungkinkan hidupnya dunia usaha di sini," kata Kim.
"Sejumlah pekerja migran datang dan banyak dari mereka sudah menjadi penduduk tetap. Kami sekarang mempekerjakan sebagian besar anak-anak mereka," ujarnya.
"Saya menyebutnya sebagai win-win — kemenangan bagi kami , kemenangan bagi mereka dan kemenangan bagi kota ini," tambah Kim lagi. Pendatang asal Filipina
Banyak dari pekerja migran di Dally berasal dari Filipina dan masuk ke sana di bawah skeman Rencana Repopulasi Regional yang menawarkan kelas bahasa Inggris, kegiatan budaya, dan insentif lainnya kepada para migran.
Salah satu di antaranya, Manu Ofianza, bekerja di perusahaan milik pengikut sekte Brethren.
Manu pindah ke Dally dengan Visa 457, kemudian istrinya bergabung dengannya dan mereka berencana untuk menyambut anak-anak mereka juga.
Di waktu luangnya Manu bekerja sebagai DJ dan juga menjalankan pekerjaan sampingan sebagai sound engineer.
"Dalwallinu adalah tempat yang bagus. Hal pertama yang saya perhatikan adalah warganya sangat sopan. Di sini setiap berpapasan dengan kendaraan, pengemudinya pasti melambaikan tangan untuk menyapa," ujar Manu.
"Kualitas kehiduan kami dalam urusan finansial meningkat setelah tinggal di sini. Kami sudah memiliki tabungan yang cukup dibandingkan saat kami tinggal di Filipina," ungkapnya.
"Saya merasa kota ini adalah tempat yang bagus untuk membina keluarga," tambahnya.
Pendatang Filipina lainnya, Geraldine Vergara, mengalami hal yang sama dengan Manu.
Meskipun awalnya kaget dengan gaya hidup yang sepi setelah mengikuti suaminya ke Dalwallinu pada tahun 2014, Geraldine mengaku kini dia dan kedua putranya suka dengan kota ini.
Kedua putranya ikut bermain footy, olahraga khas Australia, serta mengadopasi gaya hidup yang lebih santai.
"Di Filipina, untuk satu hari kerja kita hanya bisa membeli makanan untuk hari itu. Tapi di sini untuk satu hari kerja, kita bisa membeli makanan untuk satu minggu," ujar Geraldine.
Diproduksi oleh Farid Ibrahim untuk ABC Indonesia dari artikel ABC News.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tiongkok Mencatat Kenaikan Kasus Omicron Dua Kali Lipat dalam 24 Jam Terakhir