jpnn.com - PENETAPAN Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun sebagai GKR Mangkubumi masih mengundang kontroversi. Sebagai calon ratu pengganti sultan, ada pandangan bahwa GKR Mangkubumi tidak bisa mengisi posisi gubernur DIJ
Namun, para perumus Undang-Undang Keistimewaan (UUK) DIJ memastikan, jika nanti ditetapkan sebagai sultan, Mangkubumi bisa menjabat gubernur.
BACA JUGA: Inikah Artis AA yang Ikut Diciduk Bersama Mucikari RA?
Hal tersebut disampaikan mantan Wakil Ketua Pansus RUUK DIJ Arif Wibowo saat dihubungi kemarin (9/5). Dia menyatakan, prinsip UU Nomor 13/2012 itu menyatakan, pengganti sultan ditetapkan berdasar mekanisme internal. Berdasar pasal 1 UUK DIJ (Jogja), negara mengakui keistimewaan DIJ berdasar latar belakang sejarah dan asal usul untuk mengatur kewenangan di pemerintahan.
"Perihal siapa yang akan menggantikan sultan, tidak ada urusannya dengan undang-undang. Itu adalah hak internal keraton dengan segala keistimewaannya," jelas wakil ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.
BACA JUGA: Eksekusi Lahan Register 40 Setelah Alih Manajemen
Menurut Arif, meski ada perubahan nama seperti Buwono menjadi Bawono, status Sultan sebagai gubernur tidak gugur. Secara kelembagaan, keistimewaan Keraton Jogjakarta untuk mengatur rumah sendiri diakui. Pemerintah dalam hal ini hanya mengakui posisi raja Jogja, siapa pun nanti, untuk ditetapkan sebagai gubernur.
"Kalau kemudian ada masalah siapa yang akan meneruskan jumeneng berikutnya, kami kembalikan kepada Sultan dan Kesultanan Jogja. Sebab, itu memang otoritas mereka," ujarnya.
BACA JUGA: Jokowi Baru Setengah Presiden di Republik Komedi yang Jadi Candaan
Arif membantah UUK Jogja mencantumkan pasal bahwa seorang sultan atau raja Jogja harus laki-laki. Dia memastikan, tidak ada satu pasal pun yang menyebut kata laki-laki atau pria dalam UUK Jogja. Persoalan tersebut sudah tuntas dibahas saat perumusan internal oleh Pansus RUUK Jogja saat itu.
"Pertanyaan (apakah sultan harus laki-laki) itu juga muncul karena terkait dengan keturunan Sultan yang sekarang (semua perempuan, Red)," ungkapnya.
Pertanyaan yang muncul itu, lanjut Arif, langsung dijawab Sultan. Menurut dia, siapa pun pengganti dirinya nanti, mekaÂnisme internal keratonlah yang menentukan. "Sudah dijawab Sultan, kita punya aturan tersendiri. Apakah laki-laki atau perempuan, itu aturan internal," ujarnya.
Karena itulah, UUK Jogja tidak mengatur mekanisme pergantian sultan. UUK Jogja, ujar Arif, hanya merumuskan kekhususan Jogjakarta yang diakui konstitusi. "Jadi, pendek kata, siapa pun yang ditunjuk Sultan untuk menjadi jumenengan, ya itulah yang menjadi gubernur berikutnya. Soal mitologi, spiritualitas, semua sudah dibahas dan itu sepenuhnya kewenangan internal keraton," tandasnya. (bay/owi/c5/end)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Alasan Peserta BPJS Harus Nunggu 14 Hari
Redaktur : Tim Redaksi