Golkar Bersatu dan Demokratis, Persepsi atau Realitas?

Kamis, 19 Februari 2009 – 21:40 WIB

IKLAN Partai Golkar bersatu yang rancak di televisi membenarkan bahwa perception is more important than reality (Persepsi lebih penting ketimbang realitas)Jika persepsi publik sudah mengatakan bahwa Golkar bersatu, ya, tiada lain Golkar memang bersatu.

Dalam iklan itu tampil gambar Akbar Tandjung, mantan ketua umum DPP Partai Golkar yang dikalahkan oleh M

BACA JUGA: Propinsi Tapanuli: Gugat Mindset Kolonial

Jusuf “JK” Kalla pada Munas Luar Biasa (Munaslub) Golkar,  Desember 2004 silam di Denpasar, Bali
Lalu, ada gambar JK, Agung Laksono, dan Surya Paloh

BACA JUGA: Ketika Ketua DPRD Tewas di Medan

Tadinya Agung dan Surya maju sebagai calon ketua umum yang bersaing dengan Akbar dan Wiranto di Munaslub Denpasar.

Ternyata Agung dan Surya bergabung dengan JK
Skenariopun disosialisasikan kepada 28 DPD I Partai Golkar di Hotel Bali Intercontinental

BACA JUGA: Bermain Yoyo versus Bercermin Diri

Terbukti, JK terpilih sebagai ketua umum, Agung sebagai wakil ketua umum dan Surya sebagai ketua Dewan Penasehat DPP Partai Golkar.

Bahkan susunan DPP hasil Denpasar menampung sejumlah tokoh yang dipecat Akbar, seperti Fahmi dan kawan-kawanPeta Munaslub itu membenarkan adanya “perpecahan” di tubuh Golkar, saat itu.

JK berhasil masuk ke DPP, setelah didahului pemunculan kelompok pembaruan di Golkar, yakni Fahmi Idris, Burhanudin Napitupulu, Priyo Budi Santoso dan lain-lain, yang mendukung JK tampil mendampingi SBY dalam pasangan Capres-Cawapres.

Beberapa tokoh yang masuk di jajaran Dewan Penasehat, seperti Prabowo Subianto, yang membentuk partai baru, GerindraWiranto, capres Golkar pada Pilpres 2009 membentuk Partai Hanura.

Srisultan tetap saja di Golkar, meskipun telah mendeklarasikan diri sebagai capresMasih ada tokoh muda,  Yudi Krisnandi, mantan ketua tim sukses Agung Laksono di Munaslub Denpasar 2004, tapi kini  bergabung dalam Dewan Integritas Bangsa sebagai capres independen bersama Marwah Daud dan Rizal Ramli.

Akbar memang berbedaDia tak meninggalkan Golkar meski tidak masuk di dalam struktur organisasi, walaupun terbukti bahwa partai itu berjaya saat ia menjadi ketua umumIa pertahankan Partai Golkar pada situasi krisis, ketikan Golkar dicemooh, kantor-kantor dirusak, dan dibakar

Fakta berbicara bahwa di bawah kepemimpinan Akbar, partai itu meraih posisi nomor dua pada Pemilu 1999Bahkan, nomor wahid pada Pemilu 2004Uniknya, Jusuf Kalla menyetujui Surya Paloh dalam dewan penasihat padahal belum pernah memegang DPP Golkar.

Akbar, mantan Ketua DPR itu tetap loyal kepada GolkarIa tidak mau dicalonkan jadi presiden dari parpol lainTawaran Partai Bintang Reformasi (PBR) maupun Partai Pemuda Indonesia (PPI) masih dianggapnya angin laluAkbar masih fokus di Golkar.
Masalahnya, punya peluangkah Akbar terpilih menjadi capres Golkar dalam Pilpres 2009? Terlalu dini menjawabnya.
                                      oOOoo
Fenomena Golkar yang memunculkan faksi-faksi, istilah yang lebih santun, seperti juga pada pra dan paska Munaslub Denpasar 2004, tampaknya membayang-bayangi lagi pada 2009 iniSebutlah, faksi JK, Srisultan, Akbar dan mungkin Surya Paloh yang dapat berkembang secara dinamis.
Tarung internal pun terbuka ketika ketua umum Partai Golkar Jusuf Kalla menyetujui keinginan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I agar Partai Golkar mengusung Capres sendiri dalam pertemuan tertutup di rumah dinas JK dengan 33 DPD I, Kamis, (19/2) lalu“Karena semua daerah setuju, DPP mau tak mau ikut," tutur Ketua DPD Jawa Barat, Uu Rukmana pada detikcom.

Bahkan, dari DPD I kawasan Indonesia Timur, langsung meminta JK sebagai capresTampaknya, jika tak berubah mengingat politik rawan untuk berubah, maka  prosfek duet SBY-JK berakhir pada Pilpres 2009.

Resminya, nama capres akan diumumkan usai Pemilu
LegislatifSemua sepakat mengikuti mekanisme  penjaringan oleh DPD I dan II di seluruh IndonesiaNamun diduga sekedar menempuh procedural sajaTidak ada mekanisme yang menjamin kualitas sekaligus demokratis.

Misalnya, DPD I dan II diminta mengajukan tujuh nama ke DPP, tapi tak dijelaskan apakah DPD-DPD juga menjaring aspirasi anggotanya sampai ke desa dan kecamatan, atau hanya sekedar kewenangan DPD saja.

Tak mungkin pula para kandidat tampil mengajukan visi misinya di DPDSetelah mendapat tujuh nama, lalu dikirimkan ke DPPPengurus DPP kemudian menyerahkan ketujuh nama itu untuk disurvei oleh sebuah lembaga independen.
Hasilnya, kemudian dibahas lagi dalam Rapat Pimpinan Nasional Khusus (rampimnassus), yang berhak menentukan pasangan capres-cawapres Golkar.

Partai Golkar tentu saja punya kedaulatan sendiri untuk menentukan mekanisme penjaringan calon pemimpinnya di gelanggang PilpresNamun, suatu hal yang dilupakan bahwa yang menentukan capres pemenang bukanlah pengurus DPD II, II dan DPP Golkar, tetapi oleh rakyat, para pemilih.

Mekanisme yang sekedar prosedural itu dikahawatirkan hanya basa-basi, dan berbiaya relatif murahMemang efisien tetapi sekaligus menunjukkan kekurang-seriusan menemukan pasangan pemimpin yang kompetitif.

Mekanisme yang prosedural belaka itu juga kurang menggelorakan antusiasme dan gairah berpolitik untuk memenangkan Pemilu dan Pilpres 2009Padahal, suasana yang membangkitkan semangat itu akan melahirkan fighting spirit dalam menjaring empati dan simpati masyarakat.

Atmosfer itu sekarang yang tak kelihatan di tubuh GolkarTidak seperti menjelang Pemilu 1999 lalu, dinamika Golkar bangkit justru ketika dihadapkan dengan perlawanan sekelompok masyarakat yang meminta Golkar dibubarkanWalaupun kampanyenya dihujat dan tanda gambarnya dibakar, Golkar tetap survive.

Mekanisme yang sekedar procedural hanya cocok untuk pemerintahan dalam mengoordinasikan gubernur, bupati dan walikota untuk mensukseskan program pembangunanSifat kekaryaan Golkar itu sama sekali tidak strategis jika dipakai hendak mempertahankan kekuasaan, ketika king maker dalam Pemilu dan Pilpres adalah rakyat.

Mekanisme yang prosedural itu pun belum tentu mulusTidak mustahil akan muncul resistensi dari kalangan internal, baik di DPP, DPD I dan II  di seantero Tanah AirDiprediksi Golkar akan kembali dirasuki perpecahan justru ketika sedang dituntut untuk memenangkan Pemilu Legislatif.

Alih-alih hendak memenangkan Pilpres, bahkan untuk mengungguli Pemilu Legislatif pun bisa-bisa gagalJika Golkar kalah dalam Pemilu DPR, bargaining Golkar terhadap pemilih untuk tampil dengan capres-cawapres sendiri pun semakin tipis.

Jika perpecahan bisa membuyarkan harapan, maka Golkar bersatu menjadi stretegisBukan cuma dalam persepsi yang dibangun melalui iklan di televisi, tapi konkrit dan riil dalam kenyataanBukan perception itself is a realityTetapi reality itself is a perception.

Misalkan, kemungkinan resistensi dan perpecahan hanya bagai riak-riak “topan dalam gelas”, tetapi jika penjaringan capres-cawapres tidak teruji secara demokratis, dan hanya berdasarkan aspirasi elit DPD II, DPD I dan DPP, diprediksi kurang bergelora, sehingga antusiasme politik yang bergairah dan dinamis tak tercipta.

Padahal, dengan kancah keterbukaan itu membuat Golkar bersatu all in, sehingga yang kalah bisa menerima dengan legowo dan yang menang tak jumawa pulaGolkar bebas untuk memilih system seperti apapun, sebebas pemilih untuk menentukan pilihannyaPada dua “kebebasan” yang tarik menarik itulah, Golkar diuji untuk menentukan langkah yang strategis.**

  

BACA ARTIKEL LAINNYA... Isu Gender Sampai Caleg yang Gagap


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler