Propinsi Tapanuli: Gugat Mindset Kolonial

Jumat, 13 Februari 2009 – 18:34 WIB

JANGAN-jangan akar persoalannya adalah pendekatan pembangunan yang terlalu berorientasi urban alias perkotaanKajian kecil itulah, yang saya diskusikan dengan beberapa rekan di Medan, setelah hampir dua pekan tragedi unjuk rasa menggugat Propinsi Tapanuli (Protap) yang berujung anarkis dan meraih korban jiwa Ketua DPRD Sumatera Utara, Abdul Azis Angkat di Medan.

Fenomena ini tidak khas Sumatera Utara (Sumut)

BACA JUGA: Ketika Ketua DPRD Tewas di Medan

Terjadi juga di berbagai belahan Tanah Air, walau bukan generalisi
Secara kasat mata saja, Medan sebagai ibukota Sumut lebih maju dibanding berbagai ibukota kabupaten dan kota di propinsi itu

BACA JUGA: Bermain Yoyo versus Bercermin Diri

Bak antara langit dan bumi.

Gambaran “janus” itu, yang satu tertawa dan lainnya menangis, akan kelihatan jika Anda membandingkan Jakarta dan kota-kota propinsi dengan wajah kabupaten-kota   di seluruh Indonesia


Bila spektrum pembahasan diperlebar, secara langsung  maupun tak langsung, sesunguhnya pengaruh dan  peranan negara maju yang mengoperasikan system neoliberalisme di Indonesia sangat berperan, baik semasa zaman penjajahan dulu maupun di era globalisasi ini.

Barangkali, teori ketergantungan dari Andre Gunder Frank dapat pula dijadikan rujukan agar bisa melihat kasus ini dengan jernih.

Syahdan, kota Medan yang berdiri pada 1 Juli 1590 dibangun penjajah Belanda demi kepentingan mereka

BACA JUGA: Isu Gender Sampai Caleg yang Gagap

Faktor “kepentingan” itu masih berlangsung sampai sekarang walau pun tak lagi dimonopoli Belanda sendirian.  Berbagai infrastruktur, seperti jalan, jembatan, bank, kereta api, pelabuhan laut dan udara  dibangun demi bisnis kaum penjajah untuk mengangkut hasil bumi dan perkebunan kita ke benua-benua asing.

Sekarang pun idemdito sajaKota-kota besar di Indonesia mau tidak mau “melayani” kota-kota besar dunia sebagai pasar yang empukKirim ke Medan (atau Jakarta dan Surabaya), toh mengalir juga ke pelosok IndonesiaKota besar diperlukan sebagai kolektor CPO, karet dan sebagainya dan mengirimkannya ke Eropa, AS dan lainnyaLogislah jika ibukota propinsi dibangun lebih mentereng dibanding daerah kabupaten dan kota.

Bolehkah kita sebut bahwa kota-kota besar telah berperan sebagai “mesin keruk” segenap surplus ekonomi dari hintherland (daerah belakang)? Bayangkan saja betapa kayanya importir karet di luar negeri dibanding eksportir karet di ibukota propinsi, apalagi jika dibandingkan dengan petani karet di pedesaan.

Tetapi “kemajuan” kota-kota besar juga harus dilihat secara kritisYang tampak secara kasat mata hanyalah segelintir orang yang makmur di permukaan pertumbuhan ekonomiBahkan rada semu, tidak berfundamen kokoh karena ketergantungan kepada pebisnis dunia di negeri maju.

Sibolga di pantai barat Sumut yang pernah makmur di masa penjajahan, tak lain karena beroperasinya armada kapal niaga dari dan ke Eropa mengangkut karet serta mendistribusikan tekstil, roti, susu dan sebagainyaKemakmuran pun menjalar ke Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan, karena Sibolga dibangun Belanda sebagai pusat “mesin keruk” dan bandar ekspor.

Namun beberapa tahun setelah Belanda pergi, Sibolga dan daerah belakangnya pun sepi dari perdagangan internasionalDaerah-daerah inilah, Sibolga, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Dairi dan beberapa kabupaten lainnya yang merupakan cikal bakal Protap.

Kehendak mendirikan propinsi baru juga terdengar dari beberapa kabupaten dan kota di bekas Tapanuli SelatanMereka menamainya Propinsi Sumatera Tenggara.

Termasuk Pulau Nias di Samudera Indonesia yang kini sudah menjadi dua kabupaten berkeinginan pula menjadi propinsi baru.

Sebelumnya, kota Sibolga dan Kabupaten Tapanuli Tengah yang tadinya bergabung dengan Protap kemudian memisahkan diri, dan meluncurkan wacana Propinsi Tapanuli Barat.      

Jika pun Kabupaten Labuhanbatu di Sumut nyaris tak tersentuh krisis moneter dan ekonomi pada 1997-1998, tak lain karena dolar menguat sampai Rp 17.500, sementara permintaan CPO kian deras sehingga banyak petani di sana membeli mobil ramai-ramaiLagi-lagi karena faktor eksternal, seperti sekarang yang melemah karena faktor eksternal juga.

Asal tahu  saja, Labuhanbatu yang sekarang terdiri dari beberapa kabupaten juga telah meluncurkan wacana menjadi propinsi baru, yang bergabung dengan Kabupaten Asahan dan Kota Tanjungbalai. 

Sekarang harga CPO perlahan membaikDiyakini, cepat atau lambat “badai pasti berlalu.” Namun karena faktor ketergantungan yang besar, Indonesia akan selalu bergolak jika “badai” eksternal bertiup lagiKita tak akan pernah menjadi bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri.

                                          ***
Inti persoalannya, cara berfikir kolonial Belanda yang menempatkan kota propinsi di Indonesia  sebagai pusat “eksplotasi” haruslah dibongkarTidak seperti selama ini, kota propinsi dikenal sebagai “pusat segala-galanya”, mulai dari pendidikan, politik, sosial, kebudayaan, perekomian dn sebagainya, yang otomatis menyedot urbanisasi.

Akibatnya, kabupaten dan kota di daerah semakin tertinggal, sebuah gejala yang terjadi di banyak propinsi di Indonesia.

Kota-kota propinsi tak semestinya memosisikan kabupaten/kota sebagai satelit semataSalah satunya, dengan membangun basis industri otonom, katakanlah industri hilir berbahan baku komoditas sesuai potensi masing-masing yang menyebar di berbagai kabupaten.

Cara ini secara persuasi akan memutus ketergantungan kepada importir di luar negeriDengan mengekspor barang jadi, posisi bargaining produk industri hilir kita semakin tinggiKita menjadi pengendali harga pasar, dan bukan dikendalikan, seperti selama ini.

Mungkin, inilah yang disebut dengan economic geographyTapi tidak dalam gambaran Paul Krugman tentang konsentrasi populasi dan bisnis umum Los Angelos, atau jenis bisnis tertentu di Silicon Valley, Amerika SerikatTetapi bertebar, di berbagai kabupaten di Indonesia sesuai potensi dan kelayakan bisnisnya.

Peta multi pusat pertumbuhan di berbagai daerah di luar ibukota propinsi itu tentu saja harus menyiapkan suasana yang memungkinkan increasing returns bagi pebisnisMisalnya, tersedianya infrastruktur memadai, sehingga ongkos transport menjadi efisienJaringan jalan tol mestilah dibangun seperti jaringan jalan tol di Jawa. 

Inilah yang mendorong urbanisasi ke multi pusat pertumbuhan yang tak hanya terkonsentrasi di kota propinsiUrbanisasi yang menyebar akan mendorong penyebaran pertumbuhan yang diikuti oleh penampungan tenaga kerja dan penanggulangan kemiskinan yang menyebar pula.

Tak perlu terisolasi dari system bisnis internasional, tetapi jika industrialiasi dipacu  akan membuat surplus bahan baku primer diolah di setiap propinsiTak ayal, ketergantungan kepada pasar asing pun berubah menjadi hubungan bisnis yang setaraBisnis di antara Tuan dengan Tuan.

Dengan demikian, economic geography pun semakin menyebarKita terbebas dari mindset kolonial yang membangun kota propinsi hanya untuk kepentingan mereka.

Pusat bisnis di AS juga bukan ibukota Washington, melainkan New York dan Los AngelosCanberra hanya sekedar pusat pemerintahan Australia, sementara pusat bisnis adalah SydneyJika kondisi itu sudah tercipta, percayalah ide pembentukan propinsi baru otomatis akan redup sendiri( *)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ada Musuh di Selimut Separtai


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler