jpnn.com, JAKARTA - Pengamat Ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Rahma Gafni menilai Kementerian Perdagangan kurang memahami kondisi pangan di Indonesia. Banyak mengganti kebijakan, menunjukkan Ketidakmampuan Kemendag dalam menghadapi lonjakan harga minyak goreng.
Menurut Rahma, seharusnya dari awal adanya kenaikan, harus segera dicari celahnya ada dimana, lalu segera buat kebijakan dan dilaksanakan untuk mengambil langkah radikal.
BACA JUGA: Kebijakan Mendag Lutfi Soal Harga Minyak Goreng Dinilai Tidak Matang
"Karena jika tidak, maka seperti yang kita alami sekarang ini. Harusnya sudah tahu bahwa ini semua permainan kartel. Nah ini terbukti ketidakberdayaan pemerintah dalam menghadapi kartel," ujar Rahma.
Dalam menghadapi kondisi ketidakpastian seperti sekarang ini, kemendag harus sensitif. Menyiapkan langkah apa yang harus diambil, dan ti.dakan cepat dan agresif sehingga tidak sampai menimbulkan kepanikan.
BACA JUGA: Tergiur Minyak Goreng Murah, Puluhan Warga Samarinda Tertipu Hingga Rp 1 Miliar
"Kebiasaan di Negara kita tidak pernah ada antisipasi sebelumnya. Ujug-ujug sekarang menerapkan kebijakan DMO,DPO, HET," ujarnya
DMO (Domestic Market Obligation) tujuannya adalah untuk menstabilkan antara CPO yang di Ekspor dengan CPO kebutuhan domestik. Isu DMO CPO ini menurut Rahma sudah lama diwacanakan, jadi bukan hal baru.
BACA JUGA: DPR Sentil Mendag Terkait Komentar soal Minyak Goreng
Masalahnya di Indonesia kurang konsisten dengan DMO. Namun menurut Rahma, buat apa ada kebijakan DMO, jika pasokan bahan bakunya sulit terpenuhi.
Untuk kebijakan Domestic Price Obligation (DPO) Rahma menyarankan Kemendag yang membuat kebijakan harus koordinasi dengan Kementan. Karena Kementan yang menangani hulunya.
Sedangkan mengenai kebijakan satu harga dengan subsidi dari dana BPDPKS, yang sebelumnya sempat diterapkan. Menurutnya masih memungkinkan, namun hanya untuk jangka pendek.
Kebijakan yang diambil saat ini belum juga terasa manfaatnya sampai ke masyarakat. Seluruh eksportir yang akan mengekspor saat ini wajib memasok/mengalokasikan 20 persen dari volume ekspornya dalam bentuk CPO dan RBD Palm Olein ke pasar domestik dengan harga Rp 9.300/kg untuk CPO dan harga RBD Palm Olein Rp 10.300/kg.
Namun, proses produksi dan distribusi tentunya memakan waktu sehingga supply tidak langsung ada secara merata.
Dalam menghadapi kondisi ketidakpastian seperti sekarang ini, kemendag harus sensitif. Menyiapkan langkah apa yang harus diambil, dan tindakan cepat dan agresif sehingga tidak sampai menimbulkan kepanikan. Pemerintah juga harus secara matang merumuskan pengawasan distribusi dan retail untuk meminimalisir kecurangan di masa yang sulit ini.
"Masalahnya disini yang kita hadapi adalah kartel. Penegak hukumnya juga harus gerak cepat menangani ini," ujar Rahma.
Indikasi atau sinyal adanya permainan kartel terlihat dari hasil kajian KPPU yang menunjukkan bahwa industri besar minyak goreng dikuasai oleh empat perusahaan besar yang berbentuk oligopolistic.
Maka ada indikasi kartel, dalam artian kerjasama produsen besar dalam negeri untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dengan tujuan penetapan harga.
Mengenai Kemendag yang beralasan kebijakan Biodiesel B30 menjadi penyebab tingginya harga minyak goreng. Menurut Rahma hal tidak bisa menjadi alasan utama. Ada faktor-faktor penyebab lain yang juga memicu peningkatan harga minyak goreng domestik. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil