Grand Heaven

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Sabtu, 24 Juli 2021 – 08:27 WIB
Poster berisi peringatan bagi pengantar jenazah korban Covid-19 di TPU Rorotan, Jakarta Timur. Foto; arsip JPNN.com

jpnn.com - Jangan salah. Grand Heaven bukan nama hotel bintang lima atau bintang tujuh.

Grand Heaven ini kuburan, tepatnya hotel jenazah, atau hotel duka, yang fasilitas dan service-nya sekelas hotel bintang lima berstandar internasional.

BACA JUGA: Usut Kasus Kartel Kremasi di Jakbar, Polisi Periksa 3 Orang Saksi

Bagi Anda yang memasuki Surabaya dari arah Malang melalui tol, sebelum exit Waru di sebelah kanan jalan terdapat pemandangan sebuah bangunan yang kokoh nan megah. Di malam hari bangunan itu bermandi warna biru anggun, dan dari kejauhan terlihat neon sign besar "Grand Heaven".

Hotel jenazah ini satu-satunya yang ada di Surabaya. Di seluruh Indonesia ada dua, satunya di Jakarta. Beberapa waktu yang lalu hotel ini viral di media sosial, setelah seorang warganet mengunggah video yang menggambarakan detail hotel jenazah itu.

BACA JUGA: Kompol Joko Beber Fakta Mengejutkan Soal Kasus Dugaan Kartel Kremasi, Oh Ternyata

Arsitektur bangunannya dibuat mirip bangunan neo-klasik era Yunani, seperti Kuil Parthenon di zaman Yunani kuno. Pilar-pilar besar lengkap dengan kubah raksasa menjadikan hotel jenazah ini mirip seperti setting hotel yang banyak dipakai di drama korea populer.

Harga pelayanannya bervariasi mulai dari gold, platinum, sampai titanium. Ada kamar president suit dengan tarif Rp 100 juta semalam. Kamar mewah ini dipakai untuk orang hidup, bukan untuk mayat.

BACA JUGA: Heboh Kartel Obat Covid-19, Sahroni: Usut, Termasuk Bila Ada Pejabat yang Bermain

Beberapa hari belakangan ini di Jakarta sedang viral adanya kartel kremasi. Seorang warga Jakarta mengunggah keluhannya di media sosial sambil memamerkan kwitansi tagihan biaya pemakaman sebesar Rp 80 juta.

Tarif sebesar itu sudah bisa mendapatkan layanan platinum di Grand Heaven. Namun, ternyata keluarga duka itu tidak mendapatkan layanan VVIP. Alih-alih dia malah menjadi korban pemalakan.

Tarif rumah duka dan kremasi sebenarnya jauh di bawah itu, maksimal hanya Rp 25 juta. Namun, karena sudah ada mafia calo yang menguasai jaringan rumah-rumah duka, maka tarif bisa dipermainkan sampai berkali-kali lipat.

Betapa keras kehidupan di ibu kota. Ketika hidup jadi korban pemalakan, sudah mati pun masih jadi korban pemalakan preman. Para sopir truk di Tanjung Priok menjadi korban pemalakan preman setiap hari. Orang-orang kaya menjadi korban pemalakan birokrasi. Ketika mati pun masih harus menghadapi kartel kremasi.

Kematian adalah peristirahatan terakhir. Begitu kata orang bijak zaman dulu. Makam adalah tempat peristirahatan terakhir, dan jenazah bisa mendapatkan perlakuan yang sama tanpa ada diskriminasi. Tidak ada perbedaan kelas.

Namun, kenyataannya tidak seindah itu. Diskriminasi akan tetap berlanjut dari saat hidup sampai mati. Ketika sudah mati pun si miskin harus antre menunggu giliran dimakamkan. Dan ketika giliran penguburan datang, jenazahnya dikerek ke liang lahat dan diuruk dengan menggunakan backhoe.

Sebuah area pemakaman lainnya khusus disiapkan untuk para elite sosial dan para artis dan selebritas. Tarifnya bisa ratusan juta sampai miliaran rupiah. Di tempat peristirahatan terakhir pun masih terjadi segregasi antara yang kaya dan yang miskin. Si kaya dikubur terpisah di tempat eksklusif, si miskin dikubur berdesak-desakan di pemakaman umum.

Saat hidup tinggal berdesakan, sudah mati pun masih tetap berdesakan.

Di tempat lain, kematian adalah lahan bisnis yang menguntungkan. Kematian dikelola menjadi sebuah dramaturgi. Pemakaman diarahkan menjadi sebuah pertunjukan yang dikoreografi dan disutradarai dengan cermat.

Ada pembagian peran, ada panggung depan (front stage), dan ada panggung belakang (back stage). Panggung depan penuh dengan warna gemerlap yang cerah dan indah. Dan sebaliknya, panggung belakang suram dan mengerikan.

Ada jarak antara yang suci dan yang kotor. Si jenazah dimandikan dan didandani dengan indah dan diposisikan sebagai yang suci. Para keluarga juga didandani supaya tampak rapi menunggui si jenazah yang suci. Para pemulasara jenazah--yang bertugas memakamkan maupun yang melakukan kremasi--adalah ‘’yang kotor’’ yang melaksanakan pekerjaan kasar dan kotor. Ada jarak yang jelas antara yang suci dan yang kotor.

Yang tampak di panggung depan adalah suasana solemn, khidmat penuh keagungan, untuk mengantarkan si suci ke kediamannya yang lain. Panggung depan adalah panggung pertunjukan. Semua berjalan sesuai skenario yang sudah ditetapkan. Masing-masing memainkan peran yang sudah didapukkan.

Panggung belakang, tempat untuk melakukan persiapan dan latihan. Para pekerja mempersiapkan dirinya sebagai bagian dari drama dengan latihan yang cermat dan teliti. Persiapan pekerjaan kotor dilakukan tersembunyi dan terpisah dari panggung depan.

Dalam rangkaian dramaturgi ini rumah pemakaman menjadi sebuah panggung teater. Suasana hati dibangun dengan cermat. Kesedihan ditampilkan secara terukur, sehingga tetap bisa menunjukkan sikap keluarga yang terhormat meskipun harus kehilangan salah satu anggotanya.

Retorika di panggung depan dibangun sebagai bagian dari pengingkaran terhadap kematian. Meski sudah lama dikuburkan, anggota keluarga bisa berziarah kapan saja ke kuburan, dan tetap mendapatkan layanan VVIP (very very important person).

Ada lounge, ada restoran mewah dengan menu western, ada kamar mewah untuk beristirahat.

Kematian bukan titik akhir dari gaya hidup. Kematian tetap menjadi bagian dari life style yang paradoksal. Kematian, seharusnya bukan gaya hidup, tetapi gaya mati. Bukan life style tapi dead style. Hidup dengan mewah, matipun tetap dengan mewah.

Kapitalisme liberal sukses mengemas kematian sebagai barang dagangan yang bisa menjadi bisnis yang sangat menguntungkan.

Kematian menjadi paket yang bisa dijual mahal sebagai bagian dari komodifikasi. Bagi para kapitalis pengejar laba, mati bukan akhir dari segalanya, karena mati bisa menjadi bisnis yang menghasilkan cuan besar.

Kematian seharusnya menjadi akhir dari segregasi sosial. Kematian harusnya mengakhiri perbedaan antara yang kaya dan miskin. Semuanya sama. Hanya membutuhkan lahan 1x2 meter. Hanya membutuhkan lembaran kain kafan berwarna putih. Kendaraannya sama saja, karena sama-sama diangkut dengan keranda.

Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Sebuah permakaman Islam pun menyediakan fasilitas serba mewah untuk VVIP. Bukan lahan 1x2 meter yang disiapkan, tetapi bisa seratus meter. Bisa paket single, ada paket double, dan ada juga paket family. Kendaraan pengangkut tentu bukan keranda, tetapi mobil limosin mewah, mirip berangkat plesir atau datang ke kondangan untuk pesta.

Grand Heaven adalah panggung pertunjukan yang didesain untuk sebuah dramaturgi. Kematian didesain menjadi sebuah hiper-realitas, kenyataan yang semu. Di pemakaman umum Keputih atau Benowo, kematian adalah realitas yang nyata.

Ratusan jenazah dikubur berjajar, seragam, ukuran lubang sama, dan diuruk bersama-sama dengan mesin penguruk.

Keluarga hanya bisa menyaksikan dari jauh. Tidak ada panggung depan, tidak ada panggung belakang. Tangis pun harus tertahan, karena mulut dan hidung tertutup masker. Dalam kematian pun perbedaan kelas belum berakhir. (*)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler