Gugatan Amnesti Pajak Kandas di Meja MK

Kamis, 15 Desember 2016 – 07:48 WIB
Ilustrasi. Foto: JPNN

jpnn.com - JAKARTA – Permohonan uji materi pengampunan pajak alias tax amnesty ditolak Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebab, Undang-Undang Amnesti Pajak dinilai tak berseberangan dengan UUS 1945.

BACA JUGA: IHSG Rontok Tapi Masih Kategori Wajar

”Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," tutur Ketua MK Arief Hidayat.

MK berpendapat, ada beberapa alasan mendesak dan mendasar bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan pengampunan pajak.

BACA JUGA: Surveyor Indonesia Kembangkan Layanan Jasa Inspeksi dan Pengawasan Konstruksi

Salah satunya, pemerintah berusaha mengumpulkan pendapatan negara dalam bentuk pajak.

Hal itu dilakukan untuk membiayai pembangunan di tengah kepatuhan pajak masih rendah.

BACA JUGA: Garap Proyek Rp 16 triliun, Menhub Budi Ingatkan Agar MRT Digarap Hati-hati

Secara prinsip, pengampunan pajak esensinya berupa pelepasan hak negara untuk menagih pajak yang seharusnya terutang atau mengenakan pajak dalam suatu periode tertentu.

”Alasannya karena ini sangat mendesak,” tambah Suhartoyo, salah satu hakim konstitusi.

Sesuai UU Pengampunan Pajak, tujuan amnesti pajak adalah merepatriasi dana yang ditempatkan warga negara Indonesia di luar negeri untuk berbagai tujuan.

Di antaranya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan basis pajak, dan meningkatkan penerimaan pajak dari penerimaan uang tebusan.

Para pemohon menyoal ketentuan dalam UU amnesti pajak dinilai telah melukai rasa keadilan masyarakat.

Itu karena bersifat diskriminatif dengan membedakan kedudukan warga negara sebagai pembayar pajak dan warga negara tidak membayar pajak.

Ketentuan itu juga dinilai memberikan hak eksklusif kepada pihak tidak taat pajak, berupa pembebasan sanksi administrasi, proses pemeriksaan, dan sanksi pidana.

Sejumlah pasal digugat para pemohon antara lain Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 3 ayat(1) dan ayat (3), Pasal 4, Pasal 6, Pasal 11 ayat (2),ayat (3), dan ayat (5),P asal 21 ayat (2), Pasal 22, dan Pasal 23 ayat (2) UU Pengampunan Pajak.

Sejumlah saksi ahli diajukan pemohon di antaranya pakar hukum perdagangan internasional.

Misalnya, M Reza Syarifuddin Zaki menilai UU tax amnesty menciptakan inkonsistensi terhadap rezim undang-undang perpajakan.

Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gajah Mada (UGM) Akhmad Akbar Susanto menilai, pengampunan pajak tidak relevan bagi para wajib pajak (WP) yang selama ini telah taat.

Sebaliknya, pengampunan pajak sangat relevan bagi para WP yang tidak membayarkan kewajiban pajak.

Sementara pengamat perpajakan Yustinus Prastowo menyebut potret buram perpajakan Indonesia. (far/jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Restrukturisasi Bumiputera 1912 Rumit, OJK Hati-hati


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler