jpnn.com, JAKARTA - Kepala Ekonomi Pusat Belajar Rakyat Awalil Rizky menyebut sejumlah ancaman membayangi laju pertumbuhan ekonomi 2022.
Pertimbangannya itu berdasarkan kondisi perekonomian negara selama 2021.
BACA JUGA: Bea Cukai Beri Fasilitas TPB dan KITE untuk Dukung Pemulihan Ekonomi
Berdasarkan pengamatannya, ekonomi Indonesia pada 2021 sama sekali tidak bisa dikatakan pulih.
"Belum ada indikasi akan pulih. Namun, hanya membaik saja," ungkapnya.
BACA JUGA: Kaleidoskop Ekonomi 2021: Jungkir Balik Perekonomian, Bangkit di Tengah Ketidakpastian
Menurutnya, apabila perekonomian negara diukur dengan memperhitungkan kesempatan yang hilang (opportunity loss), ekonomi akan jauh dari standar membaik.
Badan Pusat Statistik merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia di triwulan I 2021 masih mengalami kontraksi 0,74 persen.
BACA JUGA: Bea Cukai Kawal Pelepasan Ekspor di Tiga Daerah Ini untuk Dorong Pemulihan Ekonomi
Kemudian, pada triwulan II 2021 mulai tumbuh positif hingga 7,07 persen dan di triwulan III 2021 sebesar 3,51 persen, sementara di 2020, ekonomi Indonesia terkontraksi 2,07 persen. Laju pertumbuhan ekonomi ditopang oleh tiga sektor yaitu industri pengolahan, pertanian, dan perdagangan.
Kendati demikian, pertumbuhan ketiga sektor tersebut masih di bawah laju PDB.
Sementara itu untuk 2022 mendatang, Awalil menilai banyak faktor risiko tinggi yang akan berdampak pada perekonomian negara.
Terdapat 10 faktor yang ia pandang sebagai risiko untuk tahun 2022, di antaranya belanja dan pengeluaran negara yang tak efisien, beban utang pemerintah yang meningkat, memburuknya kondisi keuangan beberapa BUMN berskala besar, kepemimpinan surat berharga negara (SBN) oleh Bank Indonesia dan bank yang besar, serta kepemilikan SBN pihak asing yang cenderung stagnan.
Kemudian, lanjut Awalil, faktor laju penyaluran kredit yang masih lambat, laju kredit usaha mikro yang juga lambat bahkan masih kontraksi juga mempengaruhi ekonomi ke depan.
"Kapasitas produksi sektor riil yang butuh waktu untuk pulih, tantangan ekonomi digital yang masih direspons secara sporadic, dan kebijakan otoritas yang kurang konsisten dan tak sinergis," lanjutnya. (mcr28/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur : Adil
Reporter : Wenti Ayu