jpnn.com, JAKARTA - Guru Besar Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB) Muhammad Firdaus mengatakan bahwa intervensi pemerintah dalam proses impor hortikultura seperti yang selama ini diterapkan dengan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH), adalah keniscayaan yang juga diterapkan oleh banyak negara maju.
Namun, dengan komitmen yang dicanangkan Pemerintah sejak tahun 1994 terkait perjanjian WTO, tuntutan dari dua negara pertanian maju yaitu AS dan Selandia Baru, menyebabkan Indonesia harus merevisi 18 macam peraturan, termasuk beberapa UU terkait.
BACA JUGA: Rektor IPB Prof Arif Satria Apresiasi Satu Tahun Kinerja Mentan SYL
“Sebelum ada perubahan pasal pada UU Cipta Kerja, pada tiga prolegnas (UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU Pangan dan UU Hortikultura) dinyatakan bahwa impor pangan, termasuk hortikultura, dilakukan hanya jika produksi dalam negeri tidak mencukupi," kata Prof Firdaus dalam keterangan pada Minggu (1/11).
Firdaus menyebutkan, terdapat revisi bahwa pemenuhan kebutuhan pangan dilakukan dengan memanfaatkan sumber produksi dalam negeri, cadangan pangan dan impor.
BACA JUGA: Oknum Brimob Kelapa Dua 7 Kali Jual Senjata ke Papua, Siapa Saja Terlibat? Mengejutkan
“Ada klausul pada ayat berikutnya bahwa impor tersebut harus memperhatikan kepentingan petani dan nelayan," lanjut dia.
Dia menyebutkan, beberapa negara pertanian lain menerapkan instrumen seperti tarif. Rerata tarif terapan impor sayuran Thailand jauh di atas Indonesia. Negara itu juga lebih dapat menerapkan hambatan seperti TBT karena sudah menerapkan good agricultural practices (GAP) pada orchard-orchard buah yang diregistrasi secara baik.
BACA JUGA: Djoko Tjandra Siapkan Suap Bagi Jaksa Agung dan Ketua MA untuk Penerbitan Fatwa
Selain itu, Australia sejak awal 2000-an juga telah menerapkan berbagai hambatan non tarif untuk impor durian, lengkeng dan manggis, meskipun daerah utara yang ingin dikembangkan buah tropis belum berhasil secara baik dilakukan.
"Inilah lesson learned yang dapat dipelajari oleh kita dalam kebijakan impor hortikultura,” sebut Firdaus.
Hambatan perdagangan seperti kuota adalah hal yang dapat dikatakan tabu pada perdagangan internasional. Untuk impor buah, tidak ada alasan yang signifikan untuk menerapkan kuota, terlebih pada buah subtropis yang memang tidak secara masif diproduksi di dalam negeri.
“Hambatan kuota masih diterapkan, hanya dengan maksud untuk melindungi kepentingan nasional seperti untuk komoditas strategis,” katanya.
Maka Prof Firdaus, pemberlakukan kebijakan impor buah tidak bisa disamakan dengan kebijakan komoditas lainnya, terutama yang strategis dan berpengaruh pada inflasi. Contohnya bawang merah, bawang putih, atau cabai, yang tidak bisa tergantikan. Berbeda dengan dengan buah, ketika harga apel mahal, konsumen dapat beralih ke jeruk atau buah lain. Masyarakat selaku konsumen dapat dengan mudah beralih memilih jenis buah yang mau dibeli.
“Jadi menganalisis kebijakan impor buah tentu tidak dapat sama dengan impor jagung, gula atau sapi yang sering ditengarai membuka jalan bagi pencari rente. Kebijakan impor pada kurun waktu terakhir sudah terus dibenahi, agar transparansi proses dan perizinan lebih berjalan. UU Cipta Kerja sekiranya dapat memberikan jawaban atas PR ini,” pungkas Firdaus.(*/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam