Guru Besar UI Minta Kemendikbud Lebih Ketat Awasi Buku

Rabu, 29 Maret 2017 – 18:11 WIB
Hamdi Muluk. Foto: Ist for JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Anak-anak sudah selayaknya dibiarkan bermain dan mencari teman sebanyak-banyaknya.

Anak-anak jangan dicekoki dengan kebencian kepada orang lain.

BACA JUGA: Kiai Ma’Ruf: Tidak Semua Jihad Adalah Perang

Hal tersebut seiring dengan adanya kebencian yang diajarkan orang tua terhadap anak.

Tak sedikit orang tua mengajari anak membenci umat agama lain.

BACA JUGA: Teladani Figur Buya Hamka untuk Hadapi Dinamika Bangsa

Misalnya, yang dilakukan WNI yang mengajak keluarga dan anaknya untuk hijrah ke Suriah guna bergabung dengan kelompok radikal Islamic State of Suriah and Iraq (ISIS).

Guru besar fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk mengatakan, lingkungan harus lebih peka dalam melihat dan mengawasi tingkah laku anak-anak.

BACA JUGA: Tika Bisono Sarankan Orang Tua Paham Gadget

“Lingkungan harus cepat tanggap kalau melihat ada anak-anak yang mulai menunjukkan gejala-gejala yang aneh, tidak seperti anak biasanya. Dalam konteks radikalisasi, misalnya. Kalau anak-anak itu bersikap membenci terhadap orang-orang di luar Islam, terus mulai bersikap sangat keras, lalu memusuhi, nggak mau main dengan anak-anak dari yang bukan Islam, itu harus diwaspadai,” ujar Hamdi, Rabu (29 Maret 2017).

Menurut Hamdi, ada masalah untuk kota besar ketika orang hidup agak individualis dengan keluarga yang masing-masing.

Hal itu berbeda dengan masyarakat yang masih guyup sehingga bisa mengetahui apa yang terjadi terhadap tetangga.

“Karena bukan tidak mungkin radikalisasi pada anak itu akan terjadi pada kalangan atas dan  terdidik. Ada beberapa contoh seperti bapak-ibunya dosen, tetapi anaknya terpapar paham radikal. Lalu ada juga yang orang tuanya pegawai di instansi pemerintah lalu menanamkan ideologi radikal pada keluarganya lalu mengajak keluarganya hijrah ke Suriah dan akhirnya dideportasi oleh pemerintah Turki,” ujarnya.

Pria yang juga anggota kelompok ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bidang psikologi ini mengatakan, ada juga anak yang sudah terpapar paham radikal dari lingkungan sekolah. Sebab, guru di sekolah itu ternyata jihadis.

“Sekarang, kan, ada juga mulai terbongkar materi-materi yang radikal di pelajaran SD. Misalnya dengan embel-embel sekolah madrasah lalu diindoktrinasi dengan mengajarkan kekerasan dan kebencian terhadap anak itu. Atau anak itu gabung atau ikut di sebuah pengajian yang mungkin tertutup. Di mana aktor-aktor radikalnya itu menjadi guru. Sehingga paham radikal itu masuk dari situ. Ini yang harus diwaspadai orang tua dan masyarakat sekitar,” ujar Hamdi.

Menurutnya, indoktrinasi kepada anak-anak telah merusak jiwa bocah-bocah tersebut.

Sebab, anak-anak telah dilindungi undang-undang melalui konvensi PBB.

Sementara di Indonesia juga ada Undang-undang No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

“Jadi anak-anak harus dilindungi dari perlakukan-perlakuan yang tidak boleh dilakukan oleh anak-anak kecil seperti kekerasan, termasuk juga indoktrinasi. Apalagi dididik menjadi fighter yang nanti mau dijadikan seperti tentara untuk berjihad. Memang itu lazim dijumpai di negara-negara konflik seperti di Palestina atau di Afganistan atau di dunia lain yang terjadi konflik. Namun, di Indonesia ini, kan, negara damai,” ujarnya

Menurutnya, ketika sudah dewasa, anak-anak itu bisa memilah sendiri mana yang baik dan yang tidak baik.

“Artinya kalau sekarang anak kecil diindoktrinasi, memang hasilnya bisa gawat sekali. Karena anak kecil sangat patuh terhadap orang tuanya. Itu bisa bahaya, karena sering kita jumpai anak itu bisa lebih kejam sekali, malah berdarah dingin karena memang nggak normal,” ujarnya.

Pria kelahiran Padang Panjang, 31 Maret 1966 ini mengatakan, anak-anak yang telah dideportasi oleh pemerintah Turki karena diajak orang tua hijrah ke Suriah guna bergabung dengan ISIS tentunya membutuhkan pendampingan dari psikolog.

“Artinya seberapa dalam keterpaparannya terhadap ideologi-ideologi radikal itu. Karena secara psikologis itu mengalami keguncangan. Perkembangan psikologisnya tidak normal karena anak-anak tidak selayaknya sudah mendapatkan sesuatu yang belum pantas dia dapatkan pada umurnya,” kata Hamdi.

Untuk itu, Hamdi meminta masyarakat luas, baik ulama maupun umaro untuk bersama-sama mengawasi anak-anak di lingkungan sekitar.

“Kalau ada tanda-tanda tempat perkumpulan yang tidak beres yang dipakai tempat anaknya kumpul atau bermain, ya, laporkan ke RT/RW lalu ke polisi. Kalau  di Indonesia ada KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) juga. Sementara pemerintah melalui Kementerian Pendidikan juga harus mengawasi buku-buku maupun kurikulum yang diajarkan kepada anak-anak sekolah,” ujar Hamdi. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Siswa Iuran Beli Bocoran Soal USBN


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler