jpnn.com, JAKARTA - Ketua Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Surifuddin mengkritisi program Merdeka Belajar episode kedelapan.
Menurutnya, program yang baru diluncurkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim pada Rabu (17/3) ini tidak menyentuh persoalan fundamental sekolah menengah kejuruan (SMK).
BACA JUGA: Nadiem Makarim Ingin Lulusan SMK jadi Rebutan Pelaku Industri
Menurut Surifuddin, pogram SMK pusat unggulan melalui skema afirmasi kepada 300 SMK (2019) dan 491 SMK (2020) sebenarnya tidak menyelesaikan masalah pokok SMK.
Model ini mirip dengan sekolah penggerak dan guru penggerak Kemendikbud.
BACA JUGA: Mas Nadiem, Jangan Lupa Janji pada Guru Honorer, Katanya PPPK Bisa Diangkat jadi PNS
"Afirmasinya tidak tepat," ujar Surifuddin dalam pernyataan resminya, Rabu (17/3).
P2G berpendapat, afirmasi SMK semestinya diberikan buat sekolah yang terpinggirkan, akreditasi jurusannya rendah, serapan lulusannya rendah, yang bengkel dan ruang praktiknya minim, yang kompetensi gurunya belum baik.
BACA JUGA: Modus Baru Pembobolan Mesin ATM, Uang Nongol, Listrik Langsung Dimatikan
Guru SMK Negeri di Kalimantan Timur ini melanjutkan, implementasi dari Inpres Nomor 9 Tahun 2016 tentang perlunya revitalisasi SMK harus dievaluasi secara komprehensif dan mendasar oleh Kemendikbud dan lembaga terkait selama 4 tahun ini.
Model dan skema pengimbasan SMK juga sudah ada sejak 2017 dalam bingkai revitalisasi SMK.
"Metode pengimbasan seperti itu terbukti gagal," ucapnya.
Dia menyebutkan, indikator kegagalannya dilihat dari tingkat pengangguran terbuka (TPT) jenjang SMK paling tinggi di antara tingkat pendidikan lainnya, yaitu sebesar 8,49 persen (BPS, 2020).
Hal serupa juga terjadi pada tahun sebelumnya. Artinya lulusan SMK menjadi penyumbang angka pengangguran terbesar di Indonesia.
"Model SMK pusat keunggulan bukan hal baru dan tidak juga memberikan solusi atas masalah SMK selama ini," pungkasnya. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad