jpnn.com, SURABAYA - Wakil Ketua MPR RI Jazilul Fawaid mendorong mengatakan perguruan tinggi memiliki peran yang strategis dalam mencegah berkembangnya paham radikal.
"Kritisisme di kampus harus diarahkan pada kebaikan, bukan diarahkan kebencian pada negara, pemimpin dan kelompok tertentu. Oleh karena itu, perguruan tinggi harus menjadi garda terdepan menangkal radikalisme," kata Jazilul.
BACA JUGA: Saran Romo Benny untuk Melawan Radikalisme di Era Digital
Pernyataan itu disampaikan dalam kuliah umum bertajuk Menangkal Radikalisme di Perguruan Tinggi, di Kampus Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Surabaya, Rabu (7/4).
Menurut Gus Jazil -panggilan Jazilul- kelompok radikalis biasanya selalu merasa benar sendiri dan sering menilai kelompok lain, terutama negara dan pemimpin pada posisi yang selalu tidak adil. Inilah menurutnya bibit-bibit radikalisme.
BACA JUGA: Dihantam Gelombang dan Badai Siklon Tropis Seroja, Sejumlah Kapal Rusak dan Karam
Dia juga mengatakan interupsi atas ketidakadilan seringkali hadir dari lingkungan kampus. Contohnya pada era reformasi ketika Soeharto dianggap tidak adil. Saat itu aktivis mahasiswa menuntut penghapusan KKN. "Tetapi ini pada konteks kritisisme," ucap Gus Jazil.
Oleh karena itu pihaknya berharap agar kampus memberikan perhatian pada potensi munculnya paham-paham radikal yang sering diawali pemikiran kritis, tetapi tidak terarah dengan baik.
BACA JUGA: Penting! MenPAN-RB Beberkan 3 Skema Penyelesaian Masalah Honorer
Gus Jazil mengaku senang Unesa yang menjadi kampus pencetak para tenaga pendidik tidak masuk dalam daftar 10 kampus di Indonesia yang terpapar paham radikal. Dia mengingatkan bahwa radikalisme kerap kali masuk melalui pendekatan tarbiyah atau pendidikan.
Dirinya mengaku miris karena belakangan mulai muncul tren mereka yang terpapar paham radikalisme justru dari kelompok perempuan. Seperti yang terjadi pada kasus bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, belum lama ini.
“Ini lebih berat lagi. Karena saya orang politik, mana yang lebih fanatik pemilih perempuan atau laki-laki? Jawabannya perempuan. Kalau paham radikalisme ini masuk di kalangan perempuan, lebih bahaya lagi," kata politikus PKB Itu.
Maka dari itu Gus Jazil berharap Unesa bisa menjadi contoh kampus yang membuat program khusus bagi anak didik yang memiliki kompetensi, tetapi aman dari pemikiran radikal dan tindakan yang mengarah pada terorisme.
Pria asal Pulau Bawean, Jawa Timur itu menyebut sebenarnya pemikiran radikal itu selalu ada pada setiap zaman. Bahkan, sejak zaman nabi, akar dari radikalisme itu ada kemiripan, yakni watak yang keras dan selalu merasa benar sendiri.
"Pikiran radikal dengan selalu menyalahkan yang lain bisa jadi ekstremis. Kalau dengan tindakan itu menjadi teroris. Akar musabab radikalisme adalah merasa superioritas, lebih pintar, lebih hebat dari yang lain. Ini disebut takfiri, megafirkan, merendahkan yang lain. Mereka yang di luar kelompoknya itu salah," kata Gus Jazil.
Sementara itu, Rektor Unesa Prof Nurhasan mengatakan jumlah penduduk Indonesia saat ini berdasarkan data dari Ditjen Dukcapil Kemendagri mencapai 268,5 juta. Menariknya, jumlah pengguna telepon seluler jauh lebih banyak yakni sekitar 338,2 juta unit.
"Jumlah HP kita melebihi jumlah manusianya karena setiap orang bisa memiliki lebih dari satu HP," katan Nurhasan.
Dia menyebut bila teknologi itu digunakan sebagaimana mestinya terkait pekerjaan, data dan informasi, media pengetahuan, dan lainnya, jumlah HP sebanyak itu akan sangat bagus. Namun akan menjadi masalah jika dijadikan media untuk ujaran kebencian (hate speech), menyebar berita bohong dan lainnya.
"Kita bisa bayangkan jika saat ini angka rata-rata usia sekolah di Indonesia masih setara dengan kelas 3 SMP atau 7,95 tahun (data BPS, 2018). Dari poin saya yang pertama ini pertanyaannya adalah apa dampaknya pada masyarakat kita yang masih setara dengan kelas 3 SMP jika diberikan informasi hoax atau hate speech? Silakan didiskusikan karena menarik ini untuk dikaji," tuturnya.
Nurhasan juga mengungkap hasil survei yang diakukan oleh Nenilai, sebuah lembaga non pemerintah yang kredibel, melakukan survei terhadap mahasiswa baru tahun 2020 dengan jumlah sampel sekitar 30.000-an, dan 4.000-an di antaranya adalah mahasiswa baru Unesa.
Survei Nenilai terkait dengan apa pandangan anak muda tentang nilai-nilai yang ada di Indonesia saat ini, dan nilai-nilai apa yang diharapkan. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai-nilai keadilan adalah yang paling tinggi yakni sebanyak 70 persen.
"Berdasarkan survei tersebut, jika kita ambil penilaian negatif dari anak-anak muda, mereka akan mengatakan, 'saat ini saya hidup di negara yang masih jauh dari keadilan dan kemakmuran. Masih ada korupsi, birokrasi yang berbelit dan ekonomi yang dikuasai segelintir elite," ujar Nurhasan.
Namun, lanjutnya, ada hal positif yang akan mereka katakan bahwa mereka mengakui hidup di negara yang masih mempertahankan nilai-nilai gotong royong, berpegang teguh pada ajaran agama, dan harapan ke depan keadilan bisa dirasakan.
"Apa yang ingin saya sampaikan? Ternyata keadilan adalah idaman anak-anak muda kita, dan berpegang pada ajaran agama adalah nilai-nilai yang dianggap penting. Implikasinya adalah, ketika isu keadilan digulirkan maka gelora anak muda akan bergejolak, cepat bereaksi dan berpikir pendek (berdasarkan survey ada 29% anak muda berpikir pendek)," katanya.
Demikian juga dengan isu agama, ada dua sisi mata pisau, bisa menjadi baik atau malah justru menjadi fundamentalis radikal. Maka, moderasi beragama menjadi sangat penting.
Nurhasan juga mengatakan bahwa Unesa saat ini telah memiliki Pusat Pembinaan Ideologi dan Monumen Pancasila.
"Pada tahun ini, kami juga telah merancang program pengabdian kepada masyarakat yang salah satunya diorientasikan untuk merintis Desa Pancasila," ucap Prof Nurhasan. (*/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam