jpnn.com, JAKARTA - Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan memberi pendapat hukum terkait langkah Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengucapkan selamat Hari Raya Naw-Ruz 178 EB kepada umat Baha'i, yang videonya sempat viral di media sosial.
Dalam pendapat hukum yang diterima JPNN.com, Minggu (1/8), Chandra menyitir ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
BACA JUGA: Gus Yaqut Ucapkan Selamat Hari Raya kepada Umat Bahai, Reaksi Aziz Yanuar Keras Banget
Dia menyebut UU itu menyatakan bahwa "Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius)".
"Inilah yang menjadi dasar pengakuan keberadaan enam agama yang dianut di Indonesia. Sehingga, atas dasar apa memberikan pernyataan ucapan selamat kepada agama atau aliran atau komunitas selain enam agama tersebut?" kata Chandra Purna Irawan mempertanyakan.
BACA JUGA: Jaksa Pinangki Masih Ditahan di Rutan Kejagung, Boyamin Protes, Ada Apa?
Berikutnya, kata dia, negara wajib memberikan perlindungan terhadap enam agama yang sudah diakui, apakah ada ajaran atau aliran kepercayaan yang dalam ritualnya, ibadahnya sama atau menyerupai pokok-pokok ajaran dengan enam agama yang ada.
"Misalnya, memiliki ritual yang mirip dengan agama Islam, seperti salat dan puasa. Jika ada yang mirip, maka dapat dinilai sebagai penistaan ajaran agama tersebut," tutur ketua BPH KSHUMI ((Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia) itu.
BACA JUGA: Panglima TNI Langsung ke Lapangan Menemui Tim Pelacak, Begini Instruksinya
Bila itu yang terjadi, Chandra menilai negara seharusnya hadir memberikan perlindungan, bukan justru melakukan pembiaran terhadap penistaan ajaran agama tersebut.
"Maka negara wajib hadir dalam hal ini, membiarkan atau memberikan ucapan atau tanda persetujuan lainnya, dikhawatirkan dinilai menyetujui penistaan," ujar Chandra menanggapi ucapan Menag Gus Yaqut.
Pada poin ketiga pendapat hukumnya, Chandra menyatakan apabila berpijak kepada Keppres 69/2000 yang telah mencabut Keppres 264/1962, tidak berarti bahaiyyah mendapatkan posisi sebagai suatu agama yang diakui sejajar dengan agama resmi yang diakui sebagaimana PNPS No. 1 Tahun 1965.
"Negara wajib melindungi dari komunitas, aliran, kepercayaan yang berpotensi menistakan ajaran agama yang telah diakui secara resmi," pungkas Chandra. (fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam