Habib Bahar Dipenjara Lagi, HRS Center Protes Keras

Rabu, 20 Mei 2020 – 14:06 WIB
Habib Bahar Smith saat sidang putusan di Gedung Arsip dan Perpustakaan, Bandung, tahun lalu. Foto: ANTARA/M Agung Rajasa

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Habib Rizieq Shihab Center (HRS Center) Abdul Chair Ramadhan mempertanyakan dua alasan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) ketika mencabut asimilasi terhadap Habib Bahar bin Smith.

HRS Center mempertanyakan alasan pencabutan asimiliasi karena Habib Bahar dianggap menimbulkan keresahan di masyarakat.

BACA JUGA: 5 Fakta tentang Penangkapan Kembali Habib Bahar bin Smith

Abdul juga protes terhadap alasan Kemenkumham menyebut ceramah Habib Bahar provokatif dan menyebarkan rasa permusuhan serta kebencian kepada pemerintah.

Menurut Abdul, alasan tersebut tidak jelas. Diksi keresahan, menurutnya, bukanlah delik dalam hukum pidana.

BACA JUGA: Mendagri Tito Karnavian: Ada Apa, kok Bali Bisa Turun?

"Pada yang tersebut pertama, alasan yang menimbulkan keresahan di masyarakat adalah sangat bias. Keresahan yang bagaimana yang dimaksudkan dalam hukum positif? Hukum pidana tidak ada menjadikan keresahan di masyarakat sebagai unsur delik," kata Abdul dalam pesan singkatnya kepada jpnn.com, Rabu (20/5).

Sementara itu, alasan kedua pencabutan berkaitan dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

BACA JUGA: Disebut Menteri Pecatan, Seperti Ini Reaksi Rizal Ramli, Alamak!

Habib Bahar dianggap melanggar ketentuan dalam PSBB, karena mengumpulkan banyak ketika berceramah yang kemudian dianggap provokatif.

Abdul merasa heran alasan pelanggaran PSBB dipakai mencabut asimilasi.

Pasalnya, tidak ada sanksi hukum pencabutan asimiliasi ketika seseorang melanggar PSBB.

Menurut dia, pembatasan kegiatan di luar rumah dalam konteks PSBB, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19, sama sekali tidak mengandung norma hukum larangan terhadap apa yang menjadi alasan pencabutan asimilasi.

"Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang menjadi dasar belakunya Peraturan Pemerintah 21 Tahun 2020, tidak pula ditemukan adanya norma hukum larangan dimaksud. Begitu pun dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular," ucap dia.

"Oleh karena itu, terhadap masyarakat, in casu Habib Bahar, yang tidak mengindahkannya tidak dapat kenakan sanksi hukum, termasuk menjadi alasan pencabutan asimilasi. Lalu atas dasar apa pencabutan itu dilakukan?" beber Abdul. (mg10/jpnn)


Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler