jpnn.com, JAKARTA - Presiden ke-3 RI, BJ Habibie menyatakan masa depan Indonesia tergantung pada kualitas sumber daya manusia (SDM). SDM berkualitas tidak mengenal SARA, tidak membedakan suku dan agama.
“Walaupun Indonesia negara berpenduduk Islam terbanyak tapi bukan berarti Indonesia jadi negara Islam,” ujar Habibie dalam diskusi Dewan Riset Nasional (DRN) dan kunjungan kerja Dewan Pertahanan Nasional (Wantanas), di Gedung Graha Widya Bhakti Puspiptek, Senin (6/8).
BACA JUGA: Mahfud MD Ajak Masyarakat Jaga Keberagaman dan Toleransi
Habibie mengungkapkan, yang dibutuhkan untuk menjadikan Indonesia maju adalah teknologi. Masyarakat tidak usah mengutak-atik lagi dasar negara. "Pancasila itu is the best," cetusnya.
Dia mengungkapkan Presiden Soekarno sejak awal sudah mengetahui kalau teknologi yang bisa membuat Indonesia maju. Itu sebabnya, Soekarno memusatkan perhatiannya pada teknologi pesawat dan kapal laut. Dan ini dilanjutkan oleh Presiden ke-2 Soeharto.
BACA JUGA: Semua Masalah Selesai Jika Berpegang Pancasila
“Saya ingat perintah Pak Harto waktu itu, saya disuruh bikin pesawat, tapi bukan pesawat untuk militer. Pak Harto minta saya bikin pesawat untuk prasarana ekonomi. Di samping melindungi pantai Indonesia," tuturnya.
Dia menambahkan, Indonesia butuh pesawat terbang untuk mengamankan wilayah. Hanya Amerika Serikat yang sudah memikinya tapi Indonesia bisa asalkan pemerintah fokus pada teknologi pesawat terbang.
BACA JUGA: BJ Habibie Tamu Istimewa Lamaran Denny Sumargo
Pada kesempatan sama, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengungkapkan, pemerintah mendorong agar riset, ilmu pengetahuan, dan teknologi tidak berhenti pada produk invensi namun harus berujung pada produk inovasi. Dengan demikian, peneliti bisa mendapatkan nilai tambah dari hasil riset dan di sisi lain industri juga berkembang.
Pemerintah, lanjutnya, telah menyiapkan berbagai regulasi untuk mendukung penguatan dan percepatan pengembangan iptek dan inovasi. Salah satu regulasi yg telah dibuat adalah aturan yang mengubah aktivitas riset dari 'activity base' menjadi 'output base'. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/2017.
"Cara pandang pengelolaan riset sebagai 'activity base' membuat pertanggungjawaban administrasi lebih rumit dibanding risetnya itu sendiri," terang Nasir.
Di samping itu, menurut Nasir, pemerintah telah memiliki dokumen Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) sebagai masterplan pengembangan riset dan inovasi ke depan. RIRN tertuang dalam Perpres no. 38/2017, dengan prioritas pada 10 bidang fokus.(esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... HNW: Sejak Awal Pancasila Menyerap Keberagaman
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad