jpnn.com, JAKARTA - Pengembangan sumber daya manusia (SDM) terus didengungkan Presiden Joko Widodo untuk menghadapi perkembangan teknologi yang begitu pesat.
Untuk mewujudkan hal tersebut, alokasi anggaran yang cukup dibutuhkan, khususnya Balai Latihan Kerja (BLK) sebagai tulang punggung dalam mencetak pekerja yang sesuai dengan kebutuhan pasar.
Anggota Komisi IX DPR RI, Marinus Gea mengatakan kondisi BLK yang tersebar di daerah masih jauh tertinggal untuk memenuhi kebutuhan pelaku usaha di kawasan industri baru.
BACA JUGA: Jaringan Pengusaha Muda Muhammadiyah Bersiap Menghadapi Revolusi 4.0
Politikus PDI Perjuangan ini mengatakan guna menghadapi industri 4.0, BLK perlu menyesuaikan dengan permintaan pasar yang cenderung berubah seiring perkembangan teknologi digital.
Kini, BLK masih menggunakan teknologi lama dengan standar pelatihan yang sudah tertinggal alias konvensional.
"Dunia kerja membutuhkan tenaga profesional yang mampu mengikuti perkembangan dengan teknologi yang ada. Ini yang jadi kesalahannya," ujar Marinus Gea di Jakarta Kamis (11/4).
Marinus menegaskan selain teknologi, faktor kurikulum dan Sumber Daya Manusia (SDM), di BLK itu pun perlu mendapatkan pelatihan yang menyesuaikan dengan kebutuhan industri saat ini.
BACA JUGA: Tidak Kuasai Matematika, Jangan Harap Guru Bisa Mengajar Informatika
Dengan demikian kegiatan pelatihan yang dilakukan itu bisa mencetaak tenaga kerja berkemampuan tinggi dan mampu bersaing dengan pekerja lainnya.
Saat kegiatan kunjungan kerja ke BLK, Marinus menceritakan para pengurus BLK itu ingin mengganti teknologi dengan yang baru akan tetapi terbentur anggaran.
BACA JUGA: Pastikan Manfaat Industri 4.0 untuk Rakyat Kecil
"Mereka mengatakan bagaimana kita mengganti peralatan, anggarannya tidak ada. Ini kembali ke persoalan anggaran negara," ujarnya.
Di kesempatan berbeda, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Banten, Al Hamidi mengamini, pihaknya banyak menemukan kendala untuk menghadapi industri 4.0 tersebut. Dua kendala yang dirasakan, yakni anggaran serta keterbatasan SDM.
"Kalau dibilang anggaran kurang, ya kami kurang," ujar Al Hamidi.
Al Hamidi mengatakan pihaknya telah mendatangkan beberapa mesin bubut yang sesuai dengan kebutuhan industri untuk digunakan BLK.
Akan tetapi, jumlahnya masih jauh dari ideal. Sarana pendukung dengan teknologi kekinian pun menjadi masalah tersendiri bagi BLK, yakni kemampuan instruktur.
"Kalau mesinnya canggih juga instrukturnya belum siap," ujarnya.
Meski demikian, dirinya berupaya maksimal untuk menghadapi era industri digital dengan melengkapi sarana sesuai kebutuhan industri saat ini. "Kita berikan pelatihan desain, komputer, fotografi dan juga bisnis online," ujarnya.
Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) menyebutkan BLK Pemerintah berjumlah 514 sedangkan swasta jumlahnya lebih sedikit hanya 58.
Hanya saja, jika mengacu pada data Pantau PJTKI, jumlah BLK swasta jauh lebih banyak hingga mencapai 189.
Di level nasional, persoalan BLK ditegaskan oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) yang akan membangun 1.000 BLK Komunitas pada 2019.
Pembangunan BLK ditujukan antara lain untuk memaksimalkan bonus demografi pada 2025 hingga 2030. Bonus demografi yang berupa banyaknya angkatan kerja, harus diantisipasi dan jadi keuntungan bagi negara.
Pembangunan BLK Komunitas ini sejalan dengan kebijakan Presiden Joko Widodo untuk menjadikan tahun 2019 sebagai tahun pengembangan SDM melalui pendidikan dan pelatihan vokasi.
Anggaran dalam pembentukan 1.000 BLK Komunitas ini sebesar Rp1 triliun sehingga setiap lembaga atau komunitas yang melakukan perjanjian kerja sama dengan pemerintah mendapatkan dana sebesar Rp1 miliar. (flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Keadilan dan Kesetaraan Gender di Era 4.0
Redaktur & Reporter : Natalia