Hadiri Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi, Arsul Sani Berkomentar Begini

Selasa, 15 Agustus 2023 – 21:29 WIB
Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani menghadiri Sidang Pleno yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Selasa (15/8). Foto: dok MPR RI

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani menghadiri Sidang Pleno terhadap Perkara Nomer 66/PUU-XXI/2023 perihal pengujian materiil Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) terhadap UUD 1945, yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Selasa (15/8).

Sidang Pleno ini adalah lanjutan yang digelar pada 10 Juli 2023 lalu dan Sidang Panel Perbaikan dilaksanakan pada 24 Juli 2023.

BACA JUGA: Mahasiswa IAN Cirebon Kunjungi MPR RI, Indro Utomo Ajak Pelajari Isu Penting Ini

Sidang Pleno yang dipimpin Ketua Anwar Usman, SH, MH dan dihadiri delapan hakim MK lainnya itu adalah ‘Mendengarkan Keterangan DPR, Presiden dan MPR (III)’ seputar perkara yang diajukan Partai Bulan Bintang, yang diwakili oleh Yusril Ihza Mahendra sebagai Ketua Umum dan Afriansyah Noor sebagai Sekretaris Jenderal.

Kesempatan pertama di berikan kepada DPR untuk menyampaikan keterangannya.

BACA JUGA: Gazalba Saleh Divonis Bebas, Arsul Sani Dukung KPK Melakukan Kasasi

Anggota DPR RI Dr. Habiburokhman, SH, MH mewakili DPR kemudian menyampaikan secara daring.

Sementara itu, Presiden RI melalui penerima kuasanya memohon penundaan penyampaian keterangan.

BACA JUGA: Wendo Asrul Ditunjuk jadi PLT Dirut Angkasa Pura I

Arsul Sani mengucapkan terima kasih atas penghargaan kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi yang telah memberi kesempatan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR) untuk menyampaikan keterangan dalam sidang perkara tersebut.

“Kedudukan MPR sebagai pihak pemberi keterangan diatur di dalam Pasal 54 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK yang menyatakan bahwa MK dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. Ketentuan tersebut dipertegas dalam Pasal 3 jo. Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, bahwa salah satu pihak dalam perkara Pengujian Undang-Undang adalah Pemberi Keterangan, dan salah satu Pemberi Keterangan adalah MPR,” terangnya.

Dalam keterangannya terkait yang berhubungan permohonan para pemohon mengenai Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU 2 PPP, Arsul Sani menyampaikan bahwa Pasal 7 ayat (1) huruf b meletakkan Ketetapan MPR sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945 dan di atas Undang-Undang.

Dia memaparkan, penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU PPP menentukan bahwa yang dimaksud dengan Ketetapan MPR adalah Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang masih berlaku, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.

Pemohon, kata dia, mendalilkan penjelasan tersebut pada pokoknya membuat MPR tidak lagi memiliki kewenangan membentuk produk hukum yang bersifat mengatur berbentuk Ketetapan MPR.

Padahal, kewenangan tersebut tidak dibatasi oleh UUD 1945 dan didalilkan masih dibutuhkan dalam perkembangan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara.

Isu hukum utama dalam perkara ini adalah apakah MPR masih memiliki wewenang membentuk produk hukum pengaturan setelah Perubahan UUD 1945.

“Kami tentu tidak menilai konstitusionalitas ketentuan yang dimohonkan para pemohon. MPR sebagai pihak pemberi keterangan akan menyampaikan pokok-pokok pembahasan dan latar belakang lahirnya ketentuan terkait dengan kelembagaan dan kewenangan MPR di dalam pembahasan perubahan UUD 1945 tahun 1999 hingga 2022,” ujarnya.

Dia meyakini akan mempertimbangkan secara komprehensif, tidak hanya soal konstitusionalitas Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, melainkan yang lebih penting lagi adalah perkembangan dinamika ketatanegaraan dan perkembangan masyarakat yang harus diantisipasi.

Sehingga UUD 1945 mewujud menjadi konstitusi yang hidup (the living constitution) yang mampu menjawab tantangan perkembangan zaman.

“Kami memandang penting uji materi ini. Sebab, dari perspektif kami bergulirnya permohonan tersebut di MK, terjadi diskusi yang tidak semata-mata dari perspektif politik tapi perspektif ketatanegaraan ketatanegaraan,” imbuhnya. (jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... OTT KPK Menjerat Kepala Basarnas, Arsul Sani Singgung Omongan Pak Luhut


Redaktur : Dedi Sofian
Reporter : Dedi Sofian, Dedi Sofian

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler