jpnn.com - Seorang santri beling bertanya kepada kiai, ‘’Pak Kiai, apa saya berdosa dan masuk neraka kalau menonton film porno, tetapi saya memakai kacamata hitam’’.
Pak Kiai tahu, santrinya ini cerdas, tetapi beling. Dia menjawab, ‘’Nanti di akhirat kamu tidak masuk neraka, tetapi kamu dimasukkan ke dalam drum lalu ditutup rapat dan drum dilemparkan ke neraka’’.
BACA JUGA: Gandeng WIR Group, Sebentar Lagi BRI Ada di Metaverse
Si santri bertanya lagi, ‘’Mengapa saya dimasukkan ke neraka, kan saya tidak menonton film porno langsung, saya hanya menonton melalui kacamata hitam?’’ Pak Kiai menjawab, ‘’Yang dicemplungkan ke neraka kan bukan kamu, tetapi drum.’’
Dialog santri beling dengan kiai ini menjadi ilustrasi bagaimana rumitnya hubungan teknologi dengan agama. Teknologi makin canggih, dan agama dituntut untuk terus-menerus update dan para kiai, ulama, dan ustaz jangan sampai kudet alias kurang update.
BACA JUGA: Metaverse Diprediksi Bakal Jadi Masa Depan Perbankan Indonesia
Menonton film porno melalui gadget dan penontonnya memakai kacamata hitam adalah tamsil bagaimana dunia realitas sekarang ini sudah berubah menjadi dunia hiperrealitas, atau realitas semu.
Kenyataan fisik sudah berubah menjadi kenyataan virtual karena munculnya berbagai teknologi terbaru seperti 3D.
BACA JUGA: Aplikasi Anak Bangsa Ini Dirilis di Metaverse, Keren!
Realitas yang nyata menjadi realitas yang semu, dan sebaliknya realitas yang semu menjadi realitas yang nyata. Manusia berinteraksi di jagat maya seolah-olah mereka berinteraksi di jagat realitas.
Sebaliknya, realitas nyata yang ada di sekitar kita berubah menjadi realitas semu karena keberadaannya kita abaikan.
Para pemuka agama harus berburu dengan waktu, berkejar-kejaran dengan perkembangan teknologi digital. Dunia nyata sudah mengalami transformasi menjadi dunia virtual yang sudah menjadi jagat tersendiri, yang disebut jagat khayal atau ‘’Metaverse’’.
Selama ini kita mengenal ‘’universe’’ atau jagat raya. Uni berarti satu atau tunggal. Namun, ternyata dunia digital bisa menciptakan jagat raya baru yang bakal menyaingi universe.
Metaverse menciptakan realitas virtual yang nyata. Dunia meta ini bisa menciptakan Dufan Ancol, Disneyland, atau Menara Eiffel, yang bisa kita jelajahi seperti kita menjelajahinya secara fisik. Realitas digital itu begitu real sehingga tidak bisa lagi dibedakan dengan realitas yang sesungguhnya.
Teknologi 3D bisa mencetak duplikasi Eiffel secara nyata dan menghadirkannya di depan mata kita. Teknologi 3D bisa mencetak Ka’bah dengan detail yang sama persis dengan aslinya dan bisa hadir di depan kita.
Ditambah dengan kehadiran Metaverse, kita bisa menelusuri area Ka’bah dan melakukan thawaf dan kemudian mencium hajar Aswad yang dimuliakan.
Itulah realitas virtual yang dihadirkan secara nyata melalui ‘’Metaverse’’. Pemerintah Arab Saudi sudah mengeluarkan versi resmi Ka’bah di Masjid Al-Haram dalam versi Metaverse. Setiap orang yang bisa mengakses teknologi itu bisa menyaksikan kehadirannya secara virtual.
Otoritas Saudi sudah meluncurkan Ka’bah virtual ini di Metaverse, akhir tahun lalu. Imam Besar Masjid Al-Haram Abdurrahman Al-Sudais sudah mencoba memakainya dalam launching produk itu. Masyarakat Islam di seluruh dunia menyambut perkembangan itu dengan gembira sekaligus waspada.
Kalau Ka’bah sudah bisa diciptakan dalam realitas virtual melalui Metaverse, lantas apakah umat Islam akan bisa melaksanakan ibadah umrah atau haji secara virtual? Ketika kondisi dunia masih terbelenggu oleh pandemi, dan ibadah haji dan umrah masih dibatasi dengan ketat, kehadiran Ka’bah Metaverse ini bisa menjadi alternatif pengobat kerinduan.
Akankah nanti muncul travel haji yang mengorganisasikan perjalanan haji virtual melalui Metaverse? Itulah tantangan yang dihadapi oleh para ulama. Teknologi yang berkembang dengan pesat setiap saat harus direspons dengan cepat.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan ibadah haji virtual tidak sah, karena tata cara ibadah haji, atau manasik haji, sudah dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Ibadah haji membutuhkan kehadiran fisik secara langsung. Thawaf, misalnya. Ritual mengelilingi Ka’bah tujuh kali secara anti-clockwise—berbalik arah dari putaran jarum jam—harus dilakukan secara fisik.
Melempar jumrah di Mina juga harus dilakukan secara fisik, demikian halnya dengan syarat dan rukun haji lainnya.
Namun, bagi mereka yang punya uzur yang berat, haji bisa dilaksanakan oleh orang lain, disebut sebagai badal haji, atau haji pengganti. Orang-orang yang sangat tua dan kesehatannya tidak memungkinkan, bisa diwakili oleh orang lain yang sudah memenuhi syarat, untuk melaksanakan haji.
Dengan ditemukannya teknologi digital mungkin orang-orang yang beruzur akan bisa mendapatkan dispensasi untuk melakukan haji virtual melalui Metaverse.
Tidak ada yang tahu. Teknologi berkembang cepat tidak terduga. Hukum Moore mengatakan bahwa kecepatan perkembangan mikroprosesor meningkat secara eksponensial setiap 24 bulan.
Moore, salah seorang pendiri Intel, mengamati kemampuan mikroprosesor yang meningkat tajam setiap saat, sehingga memunculkan terobosan teknologi baru yang mencengangkan.
Sepuluh tahun yang lalu kita dengan bangga dan penuh gaya menenteng Blackberry dan melakukan chatting melalui Blackberry Messanger (BBM) dengan sahabat-sahabat kita. Harga Blackberry ketika itu mencapai belasan juta dan hanya dimiliki oleh kalangan terbatas.
Dua tahun kemudian ditemukan sistem Android yang memungkinkan untuk mengunduh aplikasi BBM melalui gajet murah buatan China yang harganya ratusan ribu. Semua orang bisa mengakses BBM melalui gadget murah. Blackberry tidak bisa bertahan menghadapi gempuran Android.
Sekarang, sepuluh tahun kemudian, kita melihat Blackberry seperti barang produk seratus tahun yang lalu yang layak ditaruh di museum.
Perubahan dahsyat di dunia digital membuyarkan banyak tatanan sosial dan keagamaan. Pertanyaan santri beling mengenai nonton film porno memakai kacamata hitam itu juga menjadi pertanyaan yang diajukan oleh wartawan senior dan pengamat sosial Amerika Serikat, Thomas L. Friedman.
Dalam salah satu bab di buku ‘’Thank You For Being Late; An Optimist Guide to Thriving in the Age of Accelerations’’ (2018) Friedman mengajukan pertanyaan, ‘’Apakah Tuhan ada di dunia digital?’’. Pertanyaan ini bersifat hipotetikal.
Namun, bagi Friedman pertanyaan ini sangat serius. Ketika akselerasi teknologi melesat sangat cepat dan berkembang secara eksponensial, deret ukur, maka manusia akan mempertanyakan eksistensi Tuhan.
Di dunia digital yang serba ada dan serba bisa, apakah Tuhan masih ada. Itulah sisi negatif dari perkembangan teknologi yang harus diantisipasi oleh para pemuka agama dan rohaniwan.
Friedman seorang Yahudi yang saleh. Ia merasa terganggu oleh berbagai macam efek negatif dari dunia digital. Dari penelusuran mesin pencari di dunia digital, tiga kata yang paling sering dicari adalah ‘’sex’’ dan ‘’MP3’’. ‘’God’’ atau Tuhan, tidak masuk dalam kata yang paling dicari.
Karena itu kemajuan teknologi membawa berbagai macam tindakan kriminal yang merusak tatanan sosial. Karena itu Friedman berpendapat bahwa kita sendiri sebagai pengguna media sosial di jagat digital yang harus menghadirkan Tuhan di dunia digital.
Friedman mengutip seorang rabi Yahudi yang mengatakan bahwa jika engkau membutuhkan kehadiran Tuhan maka Tuhan akan hadir. Sebaliknya, jika engkau tidak membutuhkan Tuhan maka Tuhan tidak akan hadir.
Dalam konsep Islam, Allah ada di mana-mana, di dunia realitas maupun dunia virtual. Jika manusia mendekati Allah sejengkal, maka Allah akan mendekati manusia sehasta. Jika manusia mendekati Allah selangkah, Allah akan mendekatinya dua langkah.
Dalam konsep Islam akselerasi teknologi secepat apa pun masih akan kalah oleh akselerasi Allah yang selalu lebih cepat dua kali lipat. Kemajuan teknologi apa pun seharusnya bisa lebih mendekatkan manusia kepada Allah.
Inilah tantangan besar bagi para ulama dan pemikir Islam. Teknologi harus dihadapi, tidak dihindari. Para ulama Indonesia sudah mengharamkan mata uang kripto. Sekarang muncul tantangan baru.
Ketika teknologi digital bisa menciptakan Ka’bah Metaverse dan bisa menghadirkan semua sudut Makkah secara virtual, apakah ibadah haji bisa dilakukan secara virtual. Akankah di masa depan akan muncul Haji Metaverse? Wallahu a’lam. (*)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror