Hak Pilih TNI 2019

Lemhanas: Masih Harus Netral untuk Kawal Regenerasi 2014

Rabu, 23 Juni 2010 – 07:21 WIB

JAKARTA - Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Muladi berpendapat, hak pilih untuk prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) diberikan pada 2019Sebab, TNI masih harus mengawal proses regenerasi total kepemimpinan nasional pada 2014

BACA JUGA: Anas Minta Hari Ini Nurpati Harus Mundur

Muladi mengatakan, pada 2014 mendatang, kepemimpinan nasional sudah akan berganti kepada generasi baru
Politisi lama sudah lengser

BACA JUGA: Bawaslu Minta Nurpati Diadili DK KPU



"Biarlah TNI-Polri mengawal regenerasi total dulu dengan solid, baru 2019 harus diberikan hak pilihnya
Dibutuhkan untuk mengawal regenerasi total 2014

BACA JUGA: KPU Siantar Dituding Lakukan Pembunuhan Karakter

Jadi, jangan dikasih dulu kesempatan hak pilih, ditunda sampai 2019," kata Muladi setelah membuka seminar di gedung Lemhanas, Jakarta, kemarinDia mengatakan, TNI belum siap jika diberikan hak pilih pada 2014"Politik itu menghalalkan segala caraPNS itu untuk mendapatkan jabatan, dia ikut kampanye gubernurPadahal, kan enggak bolehKalau TNI dibikin begitu, bisa dar der dor di lapangan," ujarnya.

Soal hak pilih TNI, kata Muladi, tidak bisa diserahkan kepada kehendak masyarakat ataupun internal TNI"Kalau di-polling, pasti terpecahKalau ditanyakan ke TNI sendiri, akan terpecahJadi, ini suatu political will yang tidak bisa diserahkan ke proses alamiahHarus ada sikap dari pemerintah," katanya

Di tempat yang sama, Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso mengatakan, pemberian hak pilih TNI sepenuhnya merupakan wewenang pemerintah dan DPR"Itu bukan kewenangan TNI, tapi menjadi kewenangan presiden dan DPR untuk merumuskan UU," katanyaMenteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro mengatakan, pemberian hak pilih TNI membutuhkan prosesSebab, dalam UU TNI tegas dinyatakan bahwa TNI harus netral"Jadi, (dengan hak pilih) dikatakan dia sudah tidak netral, UU diubah duluNah, untuk mengubahUU itu harus mendengarkan suara stakeholderSuara TNI sendiri bagaiman maunyaIni perlu proses," kata Purnomo.

Sementara itu, LSM pemerhati hak asasi manusia Imparsial menilai, TNI saat ini belum siap mendapatkan kembali hak politiknyaSebab, reformasi militer yang diharapkan terjadi di tubuh TNI belum selesai"Belum ada kepastian revisi tentang UU 31 Tahun 1997 (tentang peradilan meliter)Tanpa itu, sebaiknya hak pilih TNI tidak diberikan," kata Al Araf, direktur Program Imparsial, dalam keterangan pers di Jakarta kemarin (22/6).

Menurut Araf, hak pilih adalah hak konstitusionalNamun, dalam konteks TNI, DPR dan pemerintah harus melihat secara utuhDengan sejarah masa lalunya, tidak cukup pada pemenuhan hak, TNI juga harus tunduk kepada sistem peradilan umumSebab, pemilu merupakan ranah publik yang tidak bisa dibeda-bedakan antara sipil dan militer"Harus ada reformasi militerJika ada kekerasan pemilu (oleh TNI), mereka harus tunduk kepada peradilan umum, bukan (peradilan) militer," kata Araf.

Menurut Araf, hal itu pentingSebab, peradilan militer acapkali dilakukan secara tertutupPenyelesaian secara hukum terkadang tidak dilakukan transparanMenurut Araf, perubahan UU peradilan militer harus menegaskan tunduknya TNI kepada peradilan umum jika terdapat ranah pidana di luar fungsi yang mereka jalankan"Mana posisi TNI sebagai prajurit, mana posisi TNI sebagai warga biasa, ini harus dibedakan," jelasnya.

Selain reformasi UU peradilan militer, TNI harus menjamin independensi mereka dalam memilihSistem TNI selama ini bersifat komandoHal itu membuat kebebasan memilih di tubuh TNI diragukan"Harus dipastikan ada sanksi jika diketahui ada atasan yang memerintah bawahan memilih salah satu parpol atau pasangan," tegasnya.

Secara terpisah, Ketua Setara Institute Hendardi berpandangan, belum ada alasan yang cukup mendesak untuk memberikan hak pilih kepada TNIBegitu juga PolriMenurut dia, motif yang tampak dari gagasan itu bukan semata-mata niat untuk memulihkan hak politik TNI yang dibatasi sejak era reformasiNamun, itu lebih sebagai hasrat merebut kekuatan politik tentara untuk mengabdi kekuatan politik yang tengah berkuasa.

Kecurigaan itu wajar berkembang karena gagasan tersebut justru muncul dari presiden dan sejumlah politisi"Hak pilih TNI hanya akan menjadi legitimasi neo dwi fungsi TNIBukannya untuk tujuan kepentingan bangsa, melainkan kepentingan penguasa," katanyaHendardi menyebutkan, pemikiran untuk mengembalikan hak pilih anggota TNI sebagai setback dalam kehidupan demokrasi di IndonesiaKalau dulu militer terjun ke politik dengan memakai baju dwifungsi, sekarang militer lebih cerdas dengan menggunakan politic electoral.

"Pikiran ini sebaiknya digusur untuk saat iniSoalnya, transisi demokrasi masih berjalan tersendat dan TNI memiliki persoalan lama tentang pelanggaran berat HAM yang belum selesai," ujar Hendardi.

Dia menyebutkan masih banyak yang harus dibenahi terlebih dahulu di institusi TNIMisalnya, keberadaan sejumlah undang-undang terkait TNI yang belum sepenuhnya dijalankan"Ini, di antaranya, mengenai kesejahteraan TNI, bisnis tentara, pengadaan alat persenjataan utama, dan peradilan militer," bebernya.

Faktor eksternal yang juga perlu dipertimbangkan adalah kematangan politik sipil yang masih rentan intervensiPragmatisme politik politisi sipil, kata Hendardi, sangat berpotensi menciptakan ruang tarik-menarik untuk memikat kekuatan TNI"Ini jelas akan sangat merugikan bangsa dan negara," tandas Hendardi(sof/bay/pri/c4)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pembangian 150 Ribu Voucher Dianggap Politik Uang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler