Hakim Kasus Juliari Panen Kecaman, Bang Reza Ingat Kejadian di Australia

Rabu, 25 Agustus 2021 – 16:36 WIB
Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel saat menjadi narasumber Podcast JPNN.com. Foto: Andika Kurniawan/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel mempertanyakan pertimbangan meringankan yang disampaikan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, saat memvonis Juliari Batubara selaku terdakwa perkara korupsi bansos Covid-19.

Majelis hakim menjadikan hinaan, cercaan, dan makian atau bully oleh masyarakat terhadap Juliari Batubara (JB) sebagai pertimbangan yang meringankan hukuman bagi mantan menteri sosial itu.

BACA JUGA: Vonis Juliari Batubara Bikin Terdakwa Berharap Dicerca & Dihina

Pertanyaan pria lulusan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu adalah, di manakah hakim memperoleh pengetahuan tentang perlakuan masyarakat terhadap Juliari? Karena aktivitas sosial hakim sangat terbatas bahkan dibatasi.

"Maka tampaknya media sosial yang menjadi referensi hakim," ucap Reza dikutip dalam keterangan tertulisnya, Rabu (25/8).

BACA JUGA: Ferdinand Kaget Mahfud MD Disebut Merestui Deklarasi FPI Versi Baru

Jika benar demikian, katanya, maka benarlah bahwa kerja hakim juga bisa dijelaskan lewat public opinion model. Bedanya, dalam kasus Juliari Batubara, amarah warganet tidak menginspirasi hakim untuk menghasilkan putusan yang merepresentasikan sentimen serupa.

"Sebaliknya, bacaan hakim terhadap opini publik justru memunculkan simpati hakim terhadap diri terdakwa," lanjut peraih gelar MCrim (Forpsych-master psikologi forensik) dari Universitas of Melbourne, Australia itu.

BACA JUGA: Juliari Batubara Dihina, Hakim Merasa Kasihan, Haris: Ini Gila!

Reza juga mempertanyakan apakah aktif memperoleh dan mempertimbangkan hal-hal yang tidak dihadirkan di persidangan merupakan kerja yudisial yang dapat dibenarkan, dan seberapa jauh hakim dibolehkan membuka diri terhadap pengaruh opini khalayak.

"Juga, ketika pada akhirnya hakim bersimpati pada terdakwa akibat unsur ekstrayudisial tersebut, apakah itu pertanda terusiknya objektivitas hakim?" sambung pria asal Rengat, Indragiri Hulu, Riau itu.

Dia berpendapat dibutuhkan kajian dan penyikapan serius tentang itu. Termasuk dengan mengecek seberapa jauh Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim telah menyentuh masalah tersebut.

Yang jelas, ujar Reza, patut diduga bahwa putusan hakim pada kasus Juliari Batubara menunjukkan betapa media sosial memiliki power dalam memengaruhi emosi hakim, bahkan berpotensi menyimpangkan kerja hakim.

"Spesifik dalam kasus JB, informasi dari media sosial tidak digunakan untuk memahami substansi perkara secara lebih akurat, melainkan justru tanpa sadar membangun sentimen positif atas diri terdakwa," ucapnya.

Menginsafi risiko yang disebabkan media sosial, kata Reza, seorang juri di Australia pada tahun 2014 dihukum kurungan setelah mempelajari profil terdakwa dan korban lewat Facebook mereka. Juri lain juga dianggap melakukan contempt of court dan didenda ribuan dolar setelah meng-Google riwayat hidup terdakwa.

BACA JUGA: Peserta Seleksi CPNS & PPPK Wajib Tes Antigen, Bayar Masing-masing

Reza berpendapat bahwa media sosial memang memiliki prospek positif bagi hakim. Antara lain, memungkinkan hakim mengedukasi publik agar lebih melek dan taat hukum.

Namun dengan segala macam sisi rawan yang ada pada media sosial, dia mendorong Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk mengambil langkah guna melindungi para hakim dari ekses negatif teknologi informasi dan komunikasi yang bisa muncul.

"Pertanyaan utamanya bukan pada boleh tidaknya hakim menggunakan media sosial, melainkan pada bagaimana sang pengadil dapat bermedia sosial tanpa keluar dari parameter etika dan integritas yudisial," tandas Reza Indragiri Amriel. (fat/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler