Hakim MK Banyak Agenda, Vonis UU Pipres Terunda-Tunda

Sabtu, 25 Januari 2014 – 20:52 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Desakan agar ada penjelasan tentang lambatnya pembacaan putusan akhirnya direspons salah seorang hakim konstitusi, Harjono. Ia mengakui  bahwa pada Maret 2013 sebenarnya hakim konstitusi memang telah mengambil keputusan terhadap permohonan yang diajukan Aliansi Masyarakat Sipil (AMS) untuk Pemilu Serentak.

Namun, keputusan yang diambil hanya pada poin penyelenggaraan pemilu serentak. "Hal-hal lain selain pemilu serentak belum diambil putusan. Tapi, putusan saat itu diambil berdasarkan pendapat-pendapat hakim secara lisan," ujar Harjono.

BACA JUGA: KY Ingatkan MK Harus Jelaskan Keterlambatan

Harjono juga menjelaskan, penyebab putusan UU Pilpres tersebut lama dibacakan adalah banyaknya agenda hakim konstitusi. Yakni, pengucapan putusan sengketa pilkada. Adanya pergantian sejumlah hakim konstitusi juga dijadikan alasan atas keterlambatan tersebut.

"Kemudian ditambah dengan beberapa perubahan hakim. Sebelum perubahan dari Mahfud M.D. selesai, diganti Akil Mochtar. Lalu, Sodiki keluar digantikan Patrialis Akbar," terangnya.

BACA JUGA: Wakapolri Usulkan SIM dan TNKB Digarap BUMN

Harjono melanjutkan, kendala pembacaan putusan UU Pilpres tersebut semakin bertambah dengan ditangkapnya mantan Ketua MK Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun lalu. "Kita semua membuang energi untuk mempertahankan kredibilitas MK. Jadi, terpaksa tertunda," ujarnya.

Dia melanjutkan, saat Akil dicokok KPK, draf putusan UU Pilpres tersebut masih berada dalam tanggung jawabnya. "Setelah kita berdiskusi, draf yang dipegang Akil harus dipindahkan ke hakim lain. Jadi, akhirnya yang bertanggung jawab adalah Pak Hamdan (saat itu sebagai wakil ketua MK). Saat itu kita mulai untuk membicarakan itu," terangnya.

BACA JUGA: Tiga Hal Pemicu Mahalnya Ongkos Politik

Masalah belum selesai. Persoalan baru timbul karena hakim konstitusi kala itu tinggal lima orang setelah ditinggal Akil, Mahfud, dan Ahmad Sodiki.

Harjono melanjutkan, majelis hakim kemudian membicarakan batas ambang bawah dan atas pencalonan presiden (presidential threshold). Karena saat itu hakim tinggal enam, terjadilah perbedaan pendapat, ada hakim yang menyatakan pemilu memerlukan presidential threshold.

"Kalau ada dua pendapat, sedangkan yang memberi suara enam, kalau tiga-tiga (tiga hakim setuju, tiga hakim tidak) tidak mungkin diambil putusan. Kalau mau ditambah dari luar, persoalannya Pak Mahfud sudah nyapres. Dua hal itu berpengaruh pada kepentingan Pak Mahfud. Kalau diminta pertimbangan, apa tidak ada persoalan interest-nya?" ungkap Harjono.

Dia menyatakan bahwa MK memilih untuk menghindari hal tersebut. Akhirnya diputuskan, dalam menyertakan pendapat, suara hakim konstitusi Maria Farida Indrati dianggap tidak ada karena bersikap dissenting opinion (pendapat berbeda). "Itu baru klir," kata dia.

Pemohon uji materi UU Pilpres Effendi Gazali mengatakan bahwa terdapat beberapa bukti adanya upaya sistematis untuk menggagalkan pemilu serentak dilaksanakan 2014. "Jika dicermati urutan tanggal prosesnya, banyak ketidaksesuaian tanggal. Salah satunya, tanggal RPH (rapat permusyawaratan hakim) di surat jawaban permohonan informasi kuasa hukum kami berbeda dengan di surat putusan MK. Jadi, kelihatan unsur bohongnya," ungkap dia (selengkapnya lihat grafis, Red).

Effendi menguraikan, kuasa hukum pemohon A.H. Wakil Kamal mengirim surat ke MK pada 20 Mei 2013 untuk menanyakan kapan keputusan tersebut dibacakan. "Surat itu dijawab panitera MK pada 30 Mei 2013 dengan mengutip arahan ketua MK bahwa RPH masih berjalan secara tertutup," ungkapnya. Padahal, keputusan RPH sudah dibuat pada 26 Maret 2013.(dod/byu/c10/kim)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengusaha Terjun ke Politik Dicap Pembohong


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler