Hakim MK Perlu Diawasi KY

Selasa, 12 November 2013 – 05:46 WIB

JAKARTA - Satu bulan usai penangkapan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M. Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), wacana pengembalian kewenangan dan peran pengawasan Komisi Yudisial (KY) terhadap hakim konstitusi kembali mencuat. Peraturan Pengganti Undang-Undang (perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang MK dapat dianggap sebagai bentuk kompromi dari presiden untuk meletakkan kembali KY dalam pengawasan hakim konstitusi.
    
Manajer Program Setara Istitute Ismanoor Hasan mengatakan bahwa perppu merupakan modifikasi pemeranan kembali KY di tubuh MK tanpa dianggap membangkan pada putusan MK yang menguji Undang-Undang (UU) KY. "Modifikasi sebagaimana dilakukan dalam perppu bahwa hakim MK akan diawasi oleh Majelis Kehormatan Haki Konstitusi (MKHK) yang dibentuk oleh KY dan MK dianggap sebagai cara elegan mengatasi ketegangan antarinstitusi negara," terang Hasan dalam diskusi di Jakarta, Senin (11/11).

Hasan menjelaskan bahwa berdasarkan hasil survei persepsi yang dilakukan terhadap 200 ahli tata negara tentang kinerja MK, sebanyak 71,8 persen responden menyatakan sikap setuju jika hakim konstitusi diawasi oleh KY. Sedangkan 28,2 persen sisanya menyatakan menolak apabila hakim konstitusi diawasi oleh KY.

BACA JUGA: Ribuan TKI Tuntut Dipulangkan

Berdasarkan hasil survei tersebut, Hasan mengatakan bahwa hal tersebut mengkonfirmasi bahwa argumen MK yang menguji UU KY pada tahun 2006, yang membatalkan kewenangan KY untuk mengawasi hakim MK dianggap tidak tepat. Dengan kata lain, lanjut Hasan, sebaiknya kewenangan dan peran pengawasan KY direkomendasikan untuk dikembalikan lagi.

"Diskursus yang mengemuka, bukan lagi perlu atau tidak perlunya pengawasan hakim MK, tetapi sebaiknya peran pengawasan tersebut dikembalikan pada KY," ujar Hasan.

BACA JUGA: Fraksi PKB: Tak Ada Hari Pahlawan Tanpa Resolusi Jihad NU

Namun demikian, terang Hasan, mayoritas para ahli (87,2 persen) berpandangan, akan sangat tepat jika upaya pengembalian kewenangan KY tersebut dilakukan dengan melakukan perubahan UU MK dan UU KY. Sedangkan para ahli yang menganggap cukup dengan menerbitkan perppu hanya sebanyak 12,8 persen.

"Persepsi ini menggambarkan bahwa penerbitan perppu sebagai landasan mengembalikan peran pengawasan KY dianggap kurang tepat," ujar Hasan.

BACA JUGA: DPR Panggil Dubes AS dan Australia

Menurut Hasan, penilaian tersebut sejalan dengan tanggapan dari sejumlah advokat atau politisi yang mempertanyakan urgensi perppu. "Jika dipetakan, respon atas perppu terlihat pada beberapa kelompok, yang menerima substansi perppu dan aspek formilnya, yang menerima substansi perppu tapi menolak aspek formilnya, dan yang menolak perppu baik dari segi substansi maupun aspek formilnya," paparnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan bahwa selama ini hakim konstitusi bersikap menolak pengawasan pihak KY terhadap kinerjanya. "MK selalu pasang posisi defend terhadap KY. MK bertahan dan tidak mau mendapat tekanan dari pihak luar," ujar Tigor kepada wartawan.

Menurut Tigor, hakim konstitusi tetap harus mendapat pengawasan dari lembaga lain karena hakim konstitusi tidak dapat lepas dari kesalahan. "MK tidak dapat mengawasi dirinya sendiri. Keputusan mereka bisa saja salah karena dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Jadi penting ada lembaga untuk mengawasi putusan hakim konstitusi," ucapnya.

Selain itu, dia berharap agar hakim konstitusi membuka hati untuk dapat menerima lembaga lain agar dapat mengawasi kinerja hakim konstitusi. "Diharapkan kebesaran hati hakim konstitusi. Apalagi perppu ini nantinya akan diuji di MK dan bisa jadi akan ditolak MK," kata Tigor.

Sementara itu, terkait rencana pertemuan MK dan KY untuk membahas implementasi perppu yang dilangsungkan hari ini, Tigor mengaku optimis bahwa pembicaraan antarlembaga negara tersebut akan menemukan jalan keluar. "Jika keduanya mau duduk bersama saya yakin akam menemukan jalan keluar," kata Tigor.

Berdasarkan survei yang dilakukan Setara Institute terhadap kinerja selama 10 tahun terakhir MK, kinerja MK selama kepemimpinan M. Akil Mohctar tidak menunjukkan prestasi yang membanggakan. Hal tersebut terlihat dari hasil survei terhadap 7 indikator kualitas putusan MK, yaitu politis, populis, berperspektif HAM, progresif, kontributif bagi pengembangan ilmu hukum tata negara, argumentatif, dan akademis.

"6 dari 7 indikator kualitas putusan Akil tidak ada yang membanggakan karena rata-rata di bawah 20 persen. Akil memperoleh 80 persen dari indikator putusannya yang bersifat politis," terang Hasan. (dod)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Misi Perdamaian TNI Perkuat Posisi Politik RI di Dunia


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler