jpnn.com, JAKARTA - Indonesia yang telah berdiri selama 79 tahun mengalami tantangan serius dalam hal moralitas penyelenggara negara dan kualitas kehidupan bernegara.
Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan dengan tegas menyebut kondisi ini sebagai kemunduran, bukan sekadar kerapuhan.
BACA JUGA: Unhas Jadi Tuan Rumah FGD Ketiga BPIP untuk Membahas Etika Penyelenggara Negara
Dia menegaskan hal itu saat menjadi pembicara diskusi kelompok terpumpun (FGD) yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bertema Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara : Etika dan Agama di Universitas Pattimura, Ambon, Maluku, Jumat (20/9/2024).
Mengacu pada refleksi pasca-reformasi 1998 yang ia sebut sebagai puncak moralitas bangsa, ia menyoroti pentingnya kesadaran akan penguatan moralitas dalam penyelenggaraan negara.
BACA JUGA: Kaesang Memang Bukan Penyelenggara Negara, Tetapi Semua Tahu Siapa Keluarganya
Kondisi saat ini, menurut Halili, Indonesia telah mengalami kemunduran besar dengan maraknya kembali praktik-praktik korupsi, kolusi, nepotisme, mulai dari kasus BLBI hingga penggunaan jet pribadi yang kini marak diperbincangkan
Halili mengaitkan kinerja demokrasi konstitusional dengan ketidakmunculan watak kewargaan yang ideal di Indonesia, seperti yang pernah diungkapkan Mochtar Lubis dalam pidatonya tahun 1977.
BACA JUGA: Prihatin dengan Etika Berpolitik, Alumni UNEJ Serukan Pertobatan Penyelenggara Negara
Lubis menyebut bahwa watak manusia Indonesia cenderung munafik, enggan bertanggung jawab, feodal, percaya pada takhayul, lebih mementingkan penampilan daripada substansi, dan lemah.
Menurut Halili, watak-watak ini masih relevan dengan kondisi masyarakat saat ini, yang mencerminkan krisis moral dan etika di kalangan elite politik dan penyelenggara negara.
"Jika elite yang terpilih adalah representasi dari warga kita, maka perbaikan harus dimulai dari masyarakat itu sendiri," ujar Halili.
Dia juga menekankan kontrol terhadap kekuasaan dan pembatasannya sangat penting, karena hak dan kebebasan yang dikumandangkan dalam demokrasi seringkali tidak sejalan dengan mekanisme pengawasan yang memadai.
Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) 1988-2002 Chandra Setiawan mengungkapkan kekhawatirannya tentang maraknya pelanggaran etika dan hukum di Indonesia.
Menurutnya, krisis ini tidak hanya terjadi di kalangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tetapi juga di level penegak hukum yang seringkali memutuskan perkara dengan cara yang mencederai keadilan.
"Sering kita dengar bahwa hukum itu tajam ke bawah, tumpul ke atas," kata Chandra.
Dia menegaskan esensi dari sila pertama Pancasila adalah komitmen untuk memuliakan Tuhan dan menjaga keluhuran ciptaan-Nya, termasuk manusia.
Agenda mendesak bagi BPIP, menurut Chandra, adalah membangkitkan kembali nilai-nilai religiusitas di Indonesia dengan cara yang lebih substansial, bukan hanya formalistik.
Dalam konteks penegakan hukum, Chandra menekankan pentingnya keadilan yang mengakomodasi tiga tujuan utama hukum: keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Sayangnya, menurutnya, proses pembuatan undang-undang seringkali tidak mencerminkan tujuan yang mulia.
Selain itu, faktor penegak hukum, sarana, fasilitas, dan kebudayaan juga perlu diperhatikan untuk memastikan penegakan hukum berjalan dengan baik.
Chandra juga menggarisbawahi pentingnya integritas bagi para pemimpin dan penyelenggara negara.
"Seorang pemimpin harus memiliki keselarasan antara kata dan perbuatan, bukan kemunafikan," ujar Chandra.
Sosiolog Universitas Indonesia Tamrin Amal Tomagola mengatakan, kerapuhan etika dan agama di kalangan penyelenggara negara maupun masyarakat Indonesia bersumber pada kerapuhan karakter.
Menurut Tamrin, akar masalah kebobrokan negara ada di dalam masyarakat itu sendiri. "Kalau masyarakatnya bobrok, negaranya juga bobrok, karena masyarakat adalah pabrik dari aktivitas kehidupan," tegasnya.
Tamrin mengidentifikasi salah satu sumbernya adalah pola asuh yang permisif dalam masyarakat.
Dia mengkritik pola asuh yang cenderung membiarkan kesalahan anak-anak tanpa konsekuensi yang jelas, sehingga tidak membentuk karakter tanggung jawab.
Tanggung jawab, menurutnya, adalah inti dari semua karakter mulia. Dalam masyarakat Barat, pola asuh yang lebih disiplin membentuk individu yang bertanggung jawab dan mandiri, sementara di Indonesia, yang muncul adalah individu egois yang mengutamakan kepentingan sendiri.
Pakar filsafat STF Driyarkara Budhy Munawar Rachman melihat masalah etika penyelenggara negara melalui pendekatan filosofis antara Machiavellianisme dan demokrasi.
Machiavellianisme, menurut Budhy, mengajarkan penguasa untuk mengutamakan efektivitas dan pragmatisme dalam mencapai dan mempertahankan kekuasaan, seringkali dengan mengabaikan prinsip moral.
Budhy mengkhawatirkan bahwa kecenderungan Machiavellianisme ini semakin terlihat dalam praktik politik di Indonesia.
Dia mencatat delapan indikator penyelenggaraan negara yang cenderung ke arah Machiavellianisme, antara lain korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, diskriminasi terhadap masyarakat adat, krisis moralitas di kalangan pejabat, dan rendahnya tanggung jawab serta amanah dalam pemerintahan.
Budhy juga mempertanyakan relevansi agama dalam mencegah Machiavellianisme, mengingat agama seringkali digunakan sebagai alat politik untuk meraih kekuasaan.
"Machiavellianisme cenderung menggoda, karena kekuasaan itu cenderung korup," kata Budhy.
Namun, dia tetap percaya bahwa agama masih mampu memberikan pengaruh moral yang kuat, asalkan nilai-nilai moral dan etika yang diajarkan dapat diterapkan dengan cara yang universal dan tanpa politisasi.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari