jpnn.com, JAKARTA - Hamdan Zoelva selaku kuasa hukum PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk memahami Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Hal ini terkait permohonan kliennya atas SK 5322/MenLHK-PHPL/UHP.1/10/2017 tentang Pembatalan Rencana Kerja Usaha (RKU) yang tidak direspons lebih dari sepuluh hari.
BACA JUGA: Jelang Tahun Politik, Masyarakat Harus Bijak Gunakan Medsos
"UU Nomor 30 tahun 2014 ini baru. Banyak lembaga negara yang belum paham bahwa ada konsekuensinya ketika ada sebuah permohonan itu tidak dijawab," kata Zoelva saat dikonfirmasi, Sabtu (9/12).
Zoelva mengatakan, sebelum UU Nomor 30 Tahun 2014 itu ditetapkan, memang instansi diberi waktu 120 hari untuk menjawab suatu permohonan. Ketika tidak dijawab kementerian, maka permohonan itu dianggap ditolak.
BACA JUGA: Sandi Dorong Eks Terapis Alexis Mengaji di Syarikat Islam
Sementara sekarang ini ketika diberlakukan UU Nomor 30 tahun 2014 maka jika dalam waktu sepuluh hari tidak dijawab maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan.
Sehingga, yang dilakukan RAPP terkait keberatan atas SK tentang Pembatalan Rencana Kerja Usaha (RKU) sudah sesuai UU.
BACA JUGA: RAPP dan KLHK Akhirnya Capai Titik Temu
"Ini (UU Nomor 30 tahun 2014) banyak yang gak ngerti. Mungkin juga kementerian belum paham sehingga santai menanggapinya apabila ada pihak yang memohon. Padahal ada batas waktunya," tegasnya.
Hamdan menyampaikan, beberapa hari setelah KLHK mengeluarkan SK 5322/MenLHK-PHPL/UHP.1/10/2017, PT RAPP memang dipanggil. Namun, dalam pertemuan itu, tidak ada catatan atau notulensi yang dikeluarkan atas SK tersebut.
Selain itu yang menemui kliennya juga bukan pihak dari menteri tapi kesekjenan KLHK. Oleh karena itu pihaknya mengajukan permohonan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
"Kami minta sepuluh hari tapi tidak direspons maka kami ajukan ke PTUN agar SK itu dibatalkan. Menggugat negara itu diboleh oleh UU. Karena negara itu tidak selalu benar. Yang kami gugat itu kesewenangannya," tegasnya.
Sidang di PTUN ini bergulir setelah KLHK menerbitkan SK Menteri LHK tentang pembatalan keputusan Menteri Kehutanan No. SK.93/VI BHUT/2013 tentang persetujuan revisi Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (RKUPHHK HTI) untuk jangka waktu sepuluh tahun periode 2010 -2019.
Dengan pembatalan tersebut, RAPP mengajukan keberatan karena RKU yang dimiliki masih berlaku hingga 2019. PT RAPP mengajukan permohonan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Keberatan yang diajukan RAPP terhadap SK Pembatalan RKU telah lewat dari 15 hari kerja dan sampai permohonan ini diajukan ke PTUN, Menteri LHKH Siti Nurbaya tidak juga menerbitkan keputusan.
Pihak PT RAPP berkomitmen pada perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut, dan juga praktik bisnis secara berkelanjutan.
Perusahaan secara penuh bekerja sama dengan pemerintah dan masyarakat setempat untuk meningkatkan kualitas tata kelola HTI yang baik di lahan gambut secara berkelanjutan sehingga dapat mencegah terjadinya karhutla.
Selain itu, PT RAPP juga senantiasa menjalankan usahanya berdasarkan izin yang sah dan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dan selalu berkonsultasi dengan Kementerian untuk memastikan kegiatan operasional perusahaan tetap berjalan. (tan/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ikuti Aturan, RAPP Minta Kepastian Hukum Berinvestasi
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga