jpnn.com, JAKARTA - Ekonom dari Indosterling Capital William Henley mengatakan, pemerintah harus mengkaji dengan saksama rencana menerapkan bea masuk dari barang-barang tak berwujud (intangible goods).
Rencana itu sudah tertuang dalam peraturan menteri keuangan (PMK).
BACA JUGA: Menanti Janji Pemerintah Tetapkan Pajak e-Commerce
Salah satu tantangan terbesar yang akan dihadapi pemerintah dalam memungut bea masuk itu terkait dengan pengawasan terhadap transaksi intangible goods.
Menurut William, mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh Ditjen Bea Cukai melalui kantor-kantornya di berbagai titik masuk terhadap barang berwujud tentunya tak ada yang meragukan.
BACA JUGA: Bu Sri Mulyani dan Pak Kiai Dukung Ganjar Pimpin Jateng Lagi
Namun, menurut William, untuk intangible goods memerlukan cara-cara berbeda.
"Tidak terbayangkan rasanya pemerintah mengawasi setiap orang maupun badan yang men-download, katakanlah sebuah software. Tentu dibutuhkan sebuah sistem dengan tingkat kemapanan tinggi sehingga tak ada ruang penyelewengan tersisa," kata William di Jakarta, Selasa (19/12).
BACA JUGA: Istigfarlah Mbak Sri, Jangan Hanya Bisa Mengutang Lagi
Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pemberlakuan bea masuk terhadap intangible goods ini akan efektif setelah ikatan moratorium dengan World Trade Organization (WTO) selesai pada akhir tahun ini.
Sedangkan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, bea masuk untuk intangible goods ini diharapkan bisa dilakukan pada tahun depan.
Contoh barang tak berwujud tersebut adalah buku elektronik (e-book), software, dan barang lain yang tak memiliki wujud.
Terhadap rencana pemerintah ini, William dapat melihat adanya upaya untuk bisa menggenjeot sisi pendapatan negara, terutama dari sisi makro.
Pada tahun lalu, penerimaan pajak secara keseluruhan per 31 Desember 2016 mencapai Rp 1.105 triliun.
Jumlah ini sebesar 81,54 persen dari target penerimaan pajak dalam APBN Perubahan 2016 yang tercatat Rp 1.355 triliun.
Sedangkan realisasi penerimaan bea dan cukai sebesar Rp 178,72 triliun.
Angka itu setara 97,15 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN Perubahan 2016 yang tercatat Rp 183,96 triliun.
Sementara tahun depan, setoran pajak 2018 ditargetkan mencapai Rp 1.423,9 triliun.
Sedangkan penerimaan bea dan cukai diproyeksikan sebesar Rp 194,1 triliun. "Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,4 persen, rasa-rasanya target pajak maupun bea cukai sulit diperoleh kecuali dengan extra effort," ujarnya.
William menambahkan, dalam pengenaan be masuk ini perlu dibangun koordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Dengan demikian, kata dia, aparat pemerintah tidak kecolongan dalam pengenaan bea masuk.
Hal ini memang sangat dimungkinkan karena semua yang berbasis digital bisa mudah ditelusuri.
Dia juga meminta wacana itu jangan sampai kontraproduktif dengan tugas dan fungsi pemerintah, khususnya Ditjen Bea dan Cukai.
Selain untuk penerimaan negara, Bea Cukai memiliki fungsi yang tak kalah penting, yakni sebagai pelindung masyarakat sehingga dapat menghadirkan keamanan dan kenyamanan dalam kehidupan.
"Rasanya juga dalam upaya enforcement tentunya akan menjadi sulit dan cenderung tidak realistis. Namun, biarlah kita menunggu langkah-langkah konkret pemerintah tersebut," kata William. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pembangunan Infrastuktur Terlalu Ambisius
Redaktur & Reporter : Ragil