jpnn.com, JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) baru saja menggelar sidang paripurna khusus pemilihan Wakil Ketua Bidang Yudisial, Selasa (7/2) yang lalu.
Sebanyak 44 hakim agung menggunakan hak suaranya di mana Sunarto mendapat 27 suara sehingga berhak menduduki jabatan tersebut.
BACA JUGA: Pengamat: Persaingan di Industri AMDK Tidak Sehat Lagi, Presiden Harus Turun Tangan
Namun, pemilihan jabatan pimpinan MA belum selesai. Sebab, akan ada kekosongan jabatan, yakni Wakil Ketua MA Bidang Nonyudisial yang sebelumnya dijabat Sunarto.
Siapakah sosok yang pantas menggantikan?
BACA JUGA: Ferdy Sambo Divonis Mati, Pengamat Sebut Jaksa Berhasil Yakinkan Hakim
Pengamat hukum dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Dr Septa Chandra memiliki harapan tersendiri tentang pemilihan Wakil Ketua MA Bidang Nonyudisial.
Hal tersebut mengingat keberadaannya dipandang strategis bagi pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sumber daya manusia di lingkungan MA.
BACA JUGA: Pengamat Sebut KPK Jangan Terintimidasi Politik Soal Kasus Formula E
“Pertama, yang terpilih mesti berintegritas dan punya pengalaman manajerial. Saya kira semua hakim agung yang pernah menjabat ketua kamar atau ketua muda layak dipilih,” kata Septa, Selasa (14/2).
Dia menyatakan semua hakim agung dengan kriteria dimaksud pantas mencalonkan diri selama tidak pernah terindikasi melanggar hukum atau kode etik.
Indikasi itu dapat ditelusuri dari catatan rekam jejak hakim selama berkarire, termasuk melalui informasi pengaduan masyarakat.
“Kedua, yang terpilih memiliki komitmen serta ketegasan untuk menegakkan marwah peradilan. Karena yang diawasi adalah perilaku orang, kadang rekan, kadang teman, keluarga, dan macam-macam, maka tidak boleh ada kompromi terhadap siapa pun,” ungkap Wakil Rektor IV UMJ tersebut.
Dia menyebut di antara tugas berat Wakil Ketua MA Nonyudisial ialah memberantas keberadaan makelar kasus.
Siapa pun yang terpilih nantinya harus menutup rapat celah bagi kemungkinan terjadinya praktik transaksi perkara.
“Ketiga, sebisa mungkin mencerminkan prinsip keterwakilan kamar atau badan peradilan secara demokratis," tambah Septa.
Menurut Septa, meski urusan memilih sepenuhnya hak setiap hakim agung, sangat penting mempertimbangkan respresentasi kamar di mana seorang calon bertugas.
Hal tersebut terutama untuk menghindari kesan diskriminatif mengenai peluang jabatan karir hakim.
“Jangan sampai timbul kesan kalau jabatan pimpinan itu jatah hakim kamar A atau B, kamar lain tidak bisa, meskipun prosesnya melalui pemilihan ya. Karena kita tahu hakim agung yang bertugas di tiap kamar itu sama-sama berkarir dari bawah," ujar Septa.
Dia mencontohkan sepanjang pengetahuannya, wakil ketua MA bidang Yudisial selalu dijabat oleh hakim agung berlatar kamar perkara umum.
Sementara, wakil ketua MA bidang Non Yudisial secara bergantian dijabat oleh hakim agung dari kamar umum dan kamar agama.
Dua jabatan itu, lanjutnya, belum pernah diisi oleh hakim dari kamar militer maupun tata usaha negara (TUN).
“Dari kamar militer mungkin sudah tiga kali ya menjabat Ketua MA, tapi dari TUN ini belum pernah menduduki pimpinan MA," ujarnya.
Kondisi tersebut, kata Septa, kurang ideal karena mengesankan seolah hakim TUN tidak cakap mengemban amanah pimpinan MA, juga seolah ada dikotomi 'anak emas' dan 'anak tiri' untuk pengisian jabatan pimpinan MA.
Oleh karena itu, dia menyarankan alangkah lebih baik bila MA mencontoh solidaritas TNI, di mana kini tak ada lagi dominasi matra darat di posisi Panglima TNI.
“Hakim agung dan kamar itu kan tidak banyak, jadi saya pikir tidak sulit menerapkan prinsip keterwakilan tadi, akan lebih representatif dan terasa kebersamaannya," pungkas Septa.
Publik mencatat hingga kini pemilihan Pimpinan Mahkamah Agung RI yang terpilih, Ketua atau Wakil Ketua belum pernah diisi dari Hakim TUN.
“Ya, ketua atau Wakil Ketua belum ada Hakim dari Pengadilan TUN, ini perlu jadi perhatian internal MA," katanya.
Pada proses pemilihan Wakil Ketua MA Yudisial, Ketua MA M. Syarifuddin sendiri tidak ikut memberikan suara demi menjaga netralitas.
Dia menegaskan siapapun yang terpilih adalah pilihannya.
“Untuk menjaga netralitas saya, izinkan saya untuk menggunakan hak saya untuk tidak memilih. Siapa pun nanti yang terpilih, itulah pilihan saya,” kata Syarifuddin di Kantor MA.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari